VARIA ADVOKAT – Saya sedih melihat perkembangan usaha Pemerintah mempersatukan organisasi advokat sepertinya bakal menuju ke kegagalan. Betapa tidak. Perpecahan yang sejak lama ada sekarang tambah meruncing. Bahkan undang-undang tentang Advokat (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003) yang dimaksud baik untuk mempersatukan mereka telah dicoba untuk di-review ke Mahkamah Konstitusi.
Masalah yang memberatkan mereka adalah ketentuan dalam Pasal 28 ayat (1) undang-undang tersebut, yang menyebutkan: “Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat”. Menurut mereka ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Setelah terbentuknya PERADI dan KAI yang “kata-nya” berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 itu perpecahan menjadi semakin meluas sehingga mengganggu ketenangan para Advokat dalam memperjuangkan Keadilan, Demokrasi, dan profesinya dan mencederai kehormatan profesi Advokat sebagai profesi terhormat ( Officium Nobileum ).
Usaha DR. H. Harifin A. Tumpa, SH, MH, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk mempersatukan mereka patut dihargai, meskipun banyak yang menyatakan tidak setuju karena ini merupakan intervensi Badan Judikatif terhadap profesi Advokat. Saya pernah diundang rapat untuk membicarakan hal tersebut di Gedung MA pada tanggal 26 Juni 2009 yang dihadiri pula oleh tokoh-tokoh Hukum Indonesia. Kesimpulan rapat waktu itu akan mengundang tokoh-tokoh Advokat untuk duduk bersama satu meja berbicara untuk menghilangkan konflik yang ada.
Lama saya tidak mendengar apakah telah ada follow up dari hasil rapat tersebut, tahu-tahu saya dikejutkan dengan telah keluarnya Surat No. 089/KMA/VI/2010 tanggal 26 Juni 2010 yang pada intinya menyebutkan bahwa pada tanggal 24 Juni 2010 telah terjadi kesepa-katan antara Pengurus Pusat PERADI dengan Pengurus KAI bahwa organisasi Advokat yang disepakati dan merupakan satu-satunya wadah profesi advokat adalah Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).
Sebelumnya MA pernah mengeluarkan surat yang ditujukan kepada para Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia perihal sikap MA terhadap organisasi advokat yakni surat tanggal 1 Mei 2009 No. 052/KMA/V/2009. Sebenarnya surat ini sudah bagus dan tegas dalam MA menyikapi konflik advokat. Tetapi sayang ketegasan MA ini menjadi hilang dengan keluarnya surat No. 089/ KMA/VI/2010.
Sebenarnya Ketua MA tidak perlu bersikap ragu dan berkesan bingung kalau saja beliau mau berpegang kepada Keputusan Petisi “5”. Sebelumnya perlu dijelaskan mengenai apa sebenarnya Petisi “5” itu. Petisi “5” itu telah digagas oleh kelompok Sarjana Hukum yang terdiri dari Hakim-hakim senior dan akademisi yang secara independen mengajukan bahan pemikiran kepada para Advokat Indonesia dalam mencari jalan keluar mengatasi konflik yang timbul antara PERADI dan KAI. Kelompok tersebut terdiri dari H. Adi Andojo Soetjipto, SH (mantan Hakim Agung), Prof. DR. HM. Laica Marzuki, SH (mantan Hakim Agung/Hakim MK), Prof. Muhammad Abduh, SH (Guru Besar Universitas Sumatera Utara), Prof. DR. Ningrum Sirait, SH (Guru Besar Universitas Sumatera Utara) dan DR. S.F. Marbun, SH, M.Hum (Praktisi Hukum). Dalam usahanya mengatasi konflik kelompok tersebut telah mengambil keputusan pada tanggal 25 Agustus 2008 antara lain yang terpenting adalah yang tersebut dalam butir 3 yang berbunyi: “Bahwa konflik antara kedua organisasi advokat yang ada, sesungguhnya bersumber dari sikap kedua organi-sasi yang merasa eksistensinya lebih absah (legitimate) satu dari pada yang lain, padahal pembentukan kedua organisasi advokat itu mengandung CACAT YURIDIS, karena keduanya dibentuk telah melampaui waktu yang ditentukan dalam Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sedangkan ketentuan pasal 32 ayat (4) bersifat imperatif dan tidak dapat disimpangi, sehingga kedua organisasi advokat telah dibentuk oleh organ-organ yang tidak berwenang membentuknya. Dengan demikian, kedua Organisasi Advokat TIDAK SAH dan BATAL DEMI HUKUM (ex tunc).
Lalu Ketua MA tidak usah merasa “risi” dengan para advokat yang belum disumpah karena beliau tinggal menunggu apa yang tertera dalam ad. 4 huruf c Keputusan Petisi “5” tersebut yang berbunyi “Mendesak para Advokat Indonesia untuk segera menyelenggarakan kongres Advokat setelah dilakukannya perubahan terhadap ketentuan Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat untuk membentuk organisasi Advokat yang SAH yang merupakan satu-satunya wadah para advokat yang bebas dan mandiri.
Jadi mengapa susah-susah mempersatukan PERADI dan KAI, sedangkan kedua organisasi tersebut ex-tunc tidak sah. Mengapa keputusan Petisi “5” diabaikan? Mengapa tidak mau mempelajari keputusan tersebut terlebih dahulu sehingga tidak sampai salah bertindak. Ataukah para Penegak Hukum kita sekarang ini sudah tidak terlalu taat lagi pada Hukum? (Adi Andojo Soetjipto, Mantan Ketua Muda MA-RI)
=====
VARIA ADVOKAT – Volume 13, Agustus 2011