VARIA ADVOKAT – Profesi advokat dikenal sebagai profesi yang mulia (officium nobile) karena mewajibkan pembelaan kepada semua orang tanpa membedakan latar belakang ras, warna kulit, agama, budaya, sosial ekonomi, kaya miskin, keyakinan, politik, gender dan ideologi.
Sebelum menjalankan pekerjaannya, seorang advokat harus disumpah terlebih dahulu berdasarkan ketentuan pasal 4 UU Advokat merupakan ketentuan yang memaksa dan menimbulkan konsekuensi hukum bahwa peng angkatan sumpah calon advokat harus dilakukan di sidang terbuka Pengadilan Tinggi domisili hukumnya. Maka untuk pengangkatan sumpah yang tidak dilakukan dengan dasar pasal 4 UU Advokat adalah tidak sah karena tidak sesuai hukum yang berlaku.
Kemudian ibarat petir menyambar di siang hari tanpa ada hujan dan angin putting beliung, korbannya pun tidak tanggung-tanggung begitu juga tragis. Banyak korban yang tidak berdosa setelah Mahkamah Agung menerbitkan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor: 052/KMA/V/2009 khususnya pada poin tiga: “terlepas dari organisasi manapun dia berasal bagi para advokat yang telah diambil sumpahnya sesuai pasal 4 UU Advokat tidak bisa dihalangi untuk beracara di pengadilan. Bagi para advokat yang diambil sumpahnya menyimpang dari Pasal 4 UU Advokat dianggap tidak sah sehingga yang bersangkutan tidak bisa beracara di Pengadilan.”
Walau surat MA itu ditujukan kepada Ketua PT seluruh Indonesia namun pada kenyataannya ribuan advokat baru yang terkena imbasnya tidak bisa menjalankan pekerjaannya karena ditolak beracara di Pengadilan karena tidak disumpah oleh PT. Contohnya baru-baru ini advokat KAI yang ditolak beracara di PN Jakarta Utara.
Mahkamah Agung beralasan hanya berpegang ketentuan perundang-undangan. “Menurut UU yang mengambil sumpah itu kan Ketua Pengadilan Tinggi,” ujar Hatta Ali, Ketua Muda Bidang Pengawasan MA. Tetapi banyak yang belum tahu bahwa Surat MA Nomor 52 telah melabrak andang-undang. Surat MA nomor 52 telah melanggar UU Advokat pasal 3 ayat 1 huruf (g): magang sekurangkurangnya 2(dua) tahun terus-menerus pada kantor advokat. Dengan keluarnya surat MA nomor 52 maka calon-calon advokat sudah tidak bisa lagi melaksanakan kewajiban magang untuk beracara di pengadilan dan belajar memperoleh beracara di persidangan Pengadilan karena sesuai surat MA Nomor 52 yang boleh beracara hanya advokat yang telah diambil sumpahnya oleh PT.
Surat MA Nomor 52 juga telah melanggar Pasal 1792 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) yang bunyinya: Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa (KUHperd.78 dst, 1354 dst, 1549, 1945, KUHD 79 dst) akibatnya sekarang di Pengadilan seseorang berdasarkan pasal 1792 KUHperd diberikan kuasa untuk bersidang tidak bisa beracara kalau dirinya bukan seorang advokat yang telah disumpah PT.
Maka jika dilihat secara kasat mata pun, implikasi Surat MA Nomor 52 tersebut dapat dikatakan era kevakuman advokat sebab berakibat hilangnya generasi Advokat. Terhitung mulai 01 Mei 2009 sampai detik ini, Indonesia tidak punya satupun advokat baru.
Tidak ada menjamin secara pasti kapan berakhirnya kevakuman itu. Tidak ada lagi new generation of lawyer yang meneruskan advokat senior. Antara lain advokat HJR Abu Bakar,SH, DR. Iur Adnan Buyung Nasution, SH, atau Maruli Simorangkir,SH.
Maka guna memenuhi Undang-Undang Advokat Nomor 18 tahun 2003 Pasal 3 ayat (1) huruf g maka dalam pelaksanaannya organisasi advokat seharusnya mengakomodasi calon advokat dalam masa magang tersebut dengan memberi status keanggotaan sebagai “Advokat Muda” dengan tanda kartu keanggotaan dan Ketua Mahkamah Agung memberi kesempatan agar calon advokat yang magang tersebut dapat diperkenankan beracara dalam sidang di Pengadilan. dimana ia menjalankan tugas magangnya.
Jalan keluar lainnya adalah pimpinan-pimpinan organisasi advokat Peradi dan KAI tidak ada ruginya menimbang dan mengakomodasi Usulan Peradin adanya urun rembuk dibentuknya suatu Dewan Advokat Indonesia yang merupakan organisasi advokat Indonesia, vide pasal 1 butir 4, pasal 2 (1),(2),(3) pasal 28 (1),(2),(3), pasal 29 (1),(2),(3),(4).(5) dan Pasal 30 UU No.18 Tahun 2003; sesuai surat Peradin kepada Ketua MA Nomor 105/DPP Peradin/VIII/2009, perihal pemikiran/ide bersatunya advokat Indonesia.
Semoga pimpinan organisasi advokat dan Ketua Mahkamah Agung berkenan mempertimbangkan usulan diatas untuk mengakhiri kevakuman dan hilangnya generasi Advokat. (VA – Gito Indrianto)
=====
VARIA ADVOKAT – Volume 11, Oktober 2009