Fiat Justitia Ruat Coelum

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Prinsip Negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan setiap orang dihadapan hukum (equality before the law).

Dalam hal mewujudkan prinsip-prinsip Negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung-jawab merupakan hal yang penting.

Advokat bukanlah sekedar pekerjaan (vacation), tetapi lebih merupakan Pengabdian untuk Menegakkan Hukum sebagai Profesi. Bukan hanya mencari dan memenuhi nafkah, namun terdapat nilai spiritual yang lebih tinggi yang harus dipikul, yaitu mewujudkan kesadaran dan budaya hukum.

Advokat dengan pelaksanaan bantuan hukumnya kepada masyarakat tidak hanya dilihat dari sebatas memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendampingan dalam setiap proses hukum, tetapi menjadikan masyarakat mengerti hukum dan dapat mengkritisi produk hukum juga merupakan tanggung-jawab yang harus diemban. Bukankah Profesi Advokat yang bermakna litigasi dan non litigasi lebih signifikan ketika menemukan momentum bahwa masyarakat Indonesia ternyata masih lemah kesadaran dan budaya hukumnya?

Mengutip pandangan Capalletti dan Gordley dalam artikelnya “Legal Aid: modern Themes and Variation” bahwa terdapat dua model bantuan hukum yang dapat diberikan oleh seorang Advokat, yaitu bantuan hukum model yuridis-individual, dimana bantuan hukum yang diberikan Advokat kepada masyarakat untuk melindungi kepentingan-kepentingan individualnya. dan bantuan hukum model kesejahteraan, yaitu suatu hak akan kesejahteraan yang menjadi bagian dari kerangka perlindungan sosial. Bantuan hukum kesejahteraan sebagai bagian dari haluan sosial diperlukan guna menetralisasi ketidak-pastian dan kemiskinan.

Karena itu pengembangan sosial atau perbaikan sosial selalu menjadi bagian dari pelaksanaan bantuan hukum kesejahteraan. Sejalan dengan hal tersebut, konsep bantuan hukum (advokasi) yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat harus dimaknai dengan semangat penyadaran hukum bagi masyarakat. Artinya Advokat harus mampu memainkan perannya dalam menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat.

Oleh karena penegakan Supremasi Hukum tidak hanya dibangun oleh elit saja, tetapi juga oleh masyarakat.

Sebagai implementasinya, dalam hal ini Advokat harus mampu mewujudkan Kesejahteraan Sosial dengan merelakan diri menjadi pengawal Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Undang-Undang Tentang Desa).

Bahwa dalam kandungan Undang-Undang Tentang Desa tersebut terdapat bagian penting yang dapat dimanfaatkan oleh Advokat untuk meng-explorasi diri serta mengambil peran dalam mensejahterakan masyarakat, alih-alih mempertegas makna “anti pembodohan dan pembohongan hukum”.

Dengan demikian Advokat harus mampu dan mau mengambil peran dalam kehidupan ber-desa, dengan tetap dalam koridor keilmuannya. Dalam hal ini Advokat dengan pengetahuan mengenai Legal Drafting. Hal ini diperlukan, mengingat salah satu bagian penting dalam Undang-Undang Tentang Desa adalah adanya pengaturan tentang Peraturan Desa, Pasal 26 ayat (2) huruf d Undang-Undang Tentang Desa menyebutkan “Kepala Desa berwenang menetapkan Peraturan Desa” kemudian Pasal 55 huruf a Undang-Undang Tentang Desa mengatur bahwa Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi “membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa Bersama”, masih di Undang-Undang yang sama pada Pasal 69 dijelaskan “Jenis Peraturan Desa terdiri atas: Peraturan Desa, Peraturan Bersama Kepala Desa dan Peraturan Kepala Desa”. Juga diatur dalam Pasal 69 ini, bahwa “Rancangan Peraturan Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat desa”. Ini menunjukan bahwa pembentukan Peraturan Desa menganut asas partisipatoris dan responsive.

Dalam konteks itu, keberhasilan implementasi Undang-Undang Tentang Desa mensyaratkan adanya pemahaman yang sama dan keahlian khusus di kalangan para penyelenggara desa (Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa) serta masyarakat desa mengenai pembentukan Peraturan Desa sesuai kaidah-kaidah hukum dan tehnik baku pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Demikian, tertib hukum dan harmonisasi hukum nasional dapat selalu terjaga dengan baik.

Namun faktanya, masih banyak Penyelenggara Desa dan masyarakat belum memiliki keahlian dan kecakapan dalam bidang peraturan perundang-undangan. Mengenai hal-hal apa saja yang boleh dan perlu dibuatkan Peraturan Desa.

Jika tidak diantisipasi sejak dini, hal ini dapat mempengaruhi kesuksesan implementasi Undang-Undang Tentang Desa. Bahkan tidak menutup kemungkinan menimbulkan kekisruhan hukum, seperti pertentangan atau tumpang-tindih peraturan perundang-undangan.

Atas dasar itulah dibutuhkan kepedulian Advokat guna memberikan sumbangsih keilmuan dan keahliannya kepada Desa agar proses dan hasil pembentukan Peraturan desa menjadi berkualitas, aspiratif, responsive, taat asas, selaras, dan serasi secara vertical dan horizontal dalam rangka pembangunan sistem hukum nasional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga Peraturan Desa dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis, yuridis dan sosiologis.

(Advokat Yazid Ruhan, Anggota PERADIN di Muaro Jambi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *