Jakarta (Varia Advokat), 17 Desember 2024 – Entah bagaimana cara berpikir para perumus dan pengesah Undang Undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003, menjadi suatu ironi ditengah tengah upaya perwujutan Negara Supremasi Hukum diawal awal masa reformasi, dimana cita cita dan semangat masyarakat yang begitu menggebu gebu untuk mewujudkan hukum sebagai panglima, setelah sekian lama merasa terkekang oleh demokrasi dan keadilan semu di era orde baru, masyarakat sangat mengharapkan dipersenjatainya para pejuang hukum dan keadilan dengan hukum yang kokoh, kuat dan tajam, yaitu undang undang advokat.
Tetapi harapan hanyalah harapan, orang orang yang diharapkan sebagai pendekar hukum dan dipersilahkan untuk menyusun undang undang advokat ternyata tidak tahu cara mengelola energi hukum menjadi alat keadilan yang mulya, dan menjadi alat untuk menyerang kebuntuhan penegakan hukum dan keadilan, sehingga Undang Undang Advokat tampak seperti undang undang yang disusun oleh orang orang yang tidak memiliki visi dan tata-kelola sumber daya hukum, undang undang advokat tampak disusun dengan cara yang sangat jauh dari standar Analisa management organisasi ke-advokat-an dan Analisa perkembangan budaya hukum yang tantangannya sangat kompleks, dan disatu sisi sangat cepat berubah.
Undang undang Advokat terlalu cepat menjadi layu, dan menjadi suatu aturan yang normative yang hanya bisa dibaca dan dikenang tanpa mempunyai makna sebagai pedoman yang mencerminkan marwah dari para pejuang hukum dan keadilan di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Bagi sebagian advokat, Undang Undang Advokat tidak lebih dari suatu kepompong yang hanya diperlukan untuk lahir, dan tidak memiliki arti setelah sang kupu kupu terbang.
Undang undang advokat telah gagal mewujudkan tiga standar dalam rangka mewujudkan officium nobile, yaitu standar seleksi, standar etika dan standar pengawasan, selain itu juga telah gagal mewujudkan management ke-advokat-an secara nasional, bahkan juga tidak mampu menyusun legal positioning atas status advokat itu sendiri, apakah penegak hukum – State Organ, atau penyedia jasa hukum. Dampaknya adalah seperti yang dilihat dan rasakan hari ini, profesi advokat kehilangan wajah dan marwah intelektualnya. Bahkan dalam beberapa peristiwa dipertontonkan perilaku yang jauh dari nilai intelektual dan perilaku yang tidak bermoral oknum advokat yang dengan sengaja dan bangga mengekspos atas rendahnya intellectual capacity dan immoral behaviour -nya.
Kegagalan Undang Undang Advokat menerapkan standar seleksi merupakan awal dari bencana itu sendiri, profesi yang begitu mulia dengan tugas yang begitu berat, karena menuntut kemampuan meliterasi hukum dan Analisa ilmiah, selain kemampuan menulis, diisi oleh orang orang yang tidak memiliki kemampuan untuk itu, orang orang yang lebih menonjolkan kegarangan dan kebringasan yang minim ilmu dan wawasan. Yang artinya adalah Undang Undang Advokat telah gagal membangun system untuk menyeleksi sumber daya manusia untuk profesi advokat, yang akhirnya adalah gagal menempatkan profesi advokat pada posisi mulya.
Kegagalan menerapkan standar etika adalah salah satu rangkaian ironis dari kegagalan standar seleksi. Salah satu ciri yang paling menonjol dari kegagalan membangun standar etika advokat adalah banyaknya oknum advokat yang tidak tahu bahwa modal utama menjadi seorang advokat adalah penguasaan ilmu hukum dan kemampuan menyusun Analisa hukum, itu adalah etika dasar dari profesi advokat, yaitu ilmu hukum dan kemampuan menyusun analisa hukum, sehingga seseorang yang mengaku sebagai advokat tetapi tidak memiliki penguasaan ilmu hukum dan tidak memiliki kemampuan penyusunan Analisa hukum seharusnya malu, sehingga secara etika seharusnya orang yang mengandalkan kebringasan dan kekerasan tetapi mengaku berprofesi advokat adalah memalukan. Tetapi bagaimana mungkin membangun standar etika advokat apabila tidak memiliki standar seleksi yang tinggi, karena etika akan lahir beriringan dengan ilmu dan wawasan.
Yang terakhir adalah bahwa Kegagalan Undang Undang Advokat disempurnakan dengan kegagalan membangun pengawasan atas profesi advokat itu sendiri, hal ini yang paling complecated, karena dengan adanya system multi bar menjadikan pengawasan sangat terbatas, seharusnya multi bar diikuti dengan instrument pengawasan yang kuat dan terintegrasikan. Tetapi karena pembuat undang undang advokat entah karena tidak memiliki kapasitas atau karena memang sudah memiliki agenda dan tujuan lain sehingga organisasi advokat didesain tunggal, akibatnya Ketika desain single bar gagal terwujud dan gagal mengantisipasi kemunculan multi bar, maka dampaknya adalah gagal total bangsa ini menciptakan garis petunjuk untuk melahirkan organisasi advokat yang professional, kokoh dan mulya.
Mendengar kata “Advokat”, semua orang pasti membayangkan seseorang yang berorientasi pada kebenaran dan keadilan, sangat cerdas, intelek, berpakaian yang rapi dan kharismatik, dengan tutur kata yang santun, ilmiah dan tersusun, itu dulu. Sekarang ketika seseorang mendengar kata “Advokat” yang terbayang adalah sekelompok orang berpakaian lapangan, dengan sikap bringas dan garang yang hanya bisa menyebut penipuan, penggelapan, penganiayaan, pencemaran nama baik UU ITE. Apabila itu adalah hasil dari Undang Undang Advokat, maka sangat ironis, karena Undang Undang Advokat ternyata terlalu gagah untuk disebut samurai, sebab tidak lebih dari sebuah ani ani (pemotong padi waktu panen).
(Advokat Irman Jupari – Anggota PERADIN Jawa Barat).