Jakarta (Varia Advokat), 12 Desember 2024 – Pernyataan Menko Prof.Yusril pada Rakernas Peradi di Bali 5 Desember 2024, “Peradi adalah State Organ” (LembagaNegara). Dasarnya adalah Putusan MK-RI, sedangkan lainnya dianggap ormas. Pernyataan Yusril tersebut seperti politik belah bamboo, yang satu diangkat dan yang satu diinjak. Kenapa Pemerintah harus terang-terangan memihak ke Peradi sebagai wadah tunggal Advokat, sedangkan eksistensi Organisasi Profesi Advokat (OA) lainnya merasa dinisbikannya. Padahal Organisasi Profesi Advokat itu tidak hanya Peradi.
Diduga reaksi Pemerintah yang diwakili oleh Prof.Yusril dianggap sebagai manuver awal agar Peradi tetap diperhitungkan sebagai Wadah Tunggal. Yusril dan Otto Hasibuan, Menko dan Wakil Menko yang tampil sebagai wakil pemerintah, keduanya notabene adalah praktisi dari Peradi. Betapa tidak, Balegnas DPR-RI di bawah kepemimpinan Sdr.Dr.Bob Hasan berasal dari Sekjen HAPI (salah satu OA) telah memberi kesempatan kepada OA HAPI menyampaikan aspirasinya melalui RDPU akhir November 2024. Isu hangat merubah system SingleBar pada pasal 28 (1) Undang Undang Advokat No. 18 tahun 2003 (UUA) menjadi MultiBar. Dimana kebutuhan revisi UUA ini seolah muncul atas inisiatif Balegnas. Ibarat pepatah : Ada aksi muncul reaksi, dibalas kontan & konkrit, bagaikan kata berjawab gayung bersambut.
Kegaduhanpun muncul di komunitas Advokat, berembus angin kencang meminta Yusril mundur dari Kabinet Prabowo dengan alasan Negara memihak dan tidak netral lagi.
Dari peristiwa di atas muncul pertanyaan :
- Apakah pernyataan Yusril itu sebagai politik ethis pada Koleganya Otto Hasibuan selaku sebagai Wamen ?
- Bisakah Peradi dikatakan sebagai Organ State (Lembaga Negara) ?
Di saat tidak menjabat di pemerintahan, Yusril memang menjalankan profesi praktisi hukum. Sehingga beliau bisa membuka kantor hukum Ihza & Ihza bertaraf Internasional sejak 9 Februari 2015 lalu di Bali. KTA Peradi yang diterimanya dari pimpinan Peradi Otto Hasibuan kala itu disinyalir tanpa melalui Ujian Profesi Advokat (UPA) yang didahului dengan PKPA sebagaimana disyaratkan pasal 3 UUA. Kemampuan akademisnya sangat mumpuni di bidang hukum diperkirakan tidak akan mau menjalani persyaratan tersebut. Bahkan Sumpah Profesi Advokatpun baru dilakukannya tahun 2018.
Kalau Peradi akan dikukuhkan secara politis oleh pemerintah sebagai Organ Negara yang bersifat singleBar atas dasar putusan MK-RI, itu sangat bertentangan dengan fakta dan logika akal sehat (common-sense).
Makanya penulis menyampaikan analisa khusus dari aspek legal dan historis pendirian Peradi :
a. Tidak ada bunyi putusan MK seperti itu.
Dari 22 putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materil terhadap UUA, tidak ada satupun amarnya memutuskan Peradi sebagai Wadah tunggal Advokat. Misalnya dalam putusan MK No.101 tahun 2009 hanya menyatakan bahwa secara de facto ada 2 (dua) OA, yaitu Peradi dan Kongres Advokat Indonesia (K.A.I). MK memberi tengat waktu dua tahun melalui Peradilan umum untuk menentukan OA mana yang sah secara de jure. Begitu juga dengan putusan MK No.36 tahun 2015, hanya menyatakan bahwa setiap Pengadilan TInggi (PT) wajib mengambil sumpah advokat dari Peradi maupun dari KAI bagi calon Advokat yang telah memenuhi syarat.
b. Kurang tepat memaknai Organ state.
Pasal 5 UUA menyatakan Advokat sebagai Penegak hukum. Maknanya tidak lain adanya kesetaraan eksistensi personal Advokat dengan keempat pilar caturwangsa penegak hukum lainnya, seperti Polisi, Jaksa dan Hakim. OA sebagai wadah para Advokat bukan berarti harus dianggap sebagai Organ State (Badan Negara murni). Walau pasal 28 ayat (1) UUA menyatakan OA merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, hanyalah bertujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat. Kalau dikukuhkan sebagai Badan Negara murni tentu akan berdampak dan berkonsekwensi juridis membebani APBN.
Penulis mengutip pendapat mantan hakim MK, Dr.Maruarar Siahaan, mengatakan bahwa wadah tunggal OA tempat bernaungnya para Advokat selaku sebagai penegak hukum, akan lebih tepat dikatakan sebagai Auxiliary Owned State, yaitu Badan Negara yang diperluas yang bisa mandiri mengatur dirinya sendiri tanpa membebani APBN. Disinilah perbedaan nyata dari pernyataan Yusril tersebut.
c. Makna pada Pasal 28 UUA :
Setelah lahirnya UUA tahun 2003, maka 8 (delapan) OA yang sudah ada saat itu, yaitu : Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, HKHPM, AKHI, SPI dan APSI secara juridis harus melebur kepada wadah tunggal OA (baru). OA baru inilah yang akan memerankan Badan Negara yang diperluas (Auxiliary owned state) dan itu harus dibentuk langsung oleh para advokat itu sendiri (melalui forum Munas para Advokat) secara demokratis dan transparan lazimnya bertempat di ibukota Negara. Pembentukannya mutlak harus mengacu kepada UUA.
d. Makna pada pasal 28 dan pasal 32 UUA :
Makna yang terkandung pada pasal 28 (1) dan pasal 32 (4) UUA, adalah bahwa Wadah tunggal OA harus berdiri dalam tengat waktu dua tahun setelah berlakunya UUA, yaitu sampai batas waktu tanggal 23 April 2005. Sedangkan K.K.A.I (Komite Kerja Advokat Indonesia) yang sudah dibentuk sebelum lahirnya UUA dan melahirkan Kode Etik Advokat hanyalah bersifat sementara, layaknya suatu komite pada suatu organisasi, dan harus bubar dengan sendirinya setelah lahirnya UUA, vide pasal 32 (3) UUA yang menyatakan bahwa “Untuk sementara tugas dan wewenang Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).” Eksistensi KKAI ini sekaligus menunjukkan sikap keseriusan para pimpinan 8 OA untuk bersatu di masa transisi menunggu lahirnya OA baru yang harus dibentuk berdasarkan & mengacu kepada UUA. Setelah lahirnya UUA tanggal 23 April 2003, peran OA diperankan sementara oleh 8 OA di atas, vide pasal 32 (3) UUA.
e. Kelahiran Peradi Cacat Hukum.
Dari aspek tempos delicti pendiriannya, hanya Peradi yang memenuhi kriteria pasal 32 (4) jo. Pasal 28 (1) UUA karena dilahirkan tanggal 21 Desember 2004 di Ibukota Negara Indonesia. Kelahiran Peradi dibidani dari hasil kongko-kongko 16 tokoh OA (lama) di atas bertempat di hotel Yasmin, Puncak-Bogor. Walau akta pendiriannya No.30 diberlakukan surut karena baru dibuat pada tanggal 8 September 2005 dengan judul “Akta Pernyataan Pendirian Perhimpunan Advokat Indonesia,” tapi masih dalam tengat waktu sebelum 23 April 2005. Pilihan nama Peradipun juga merupakan salah satu alternatif, dengan cara menghilangkan huruf “n” pada Peradin dari singkatan dan berkonotasi sama.
Tapi amat disayangkan pendirian Peradi kala itu penuh hasrat kekuasaan oleh segelintir tokoh advokat senior dari 8 OA tersebut yang khawatir tidak kebagian kue kekuasaan dalam OA baru. Sehingga pendirian Peradi dilakukan secara tertutup tidak melibatkan Advokat seluruh Indonesia dan tidak demokratis. Lagi pula kedelapan tokoh OA, saat itu tidak punya mandat khusus untuk mengatasnamakan OA asalnya untuk mendirikan Peradi yang harus diperolehnya dari hasil munas OA nya sendiri yang ditujukan kepada Ketua & Sekjen OA. Maka cara seperti itu lebih tepat dikatakan sebagai pendirian suatu persekutuan perdata biasa, seperti halnya mendirikan suatu Law office secara bersama-sama untuk saling mengikatkan dirinya saja secara terbatas khusus bagi yang menandatangani akta Peradi tersebut.
Tersirat pada pasal 28 (1) UUA pendirian OA harus melibatkan para advokat seluruh Indonesia yang tentunya harus dilakukan melalui forum MUNAS para advokat seluruh Indonesia dan bertempat di ibukota Negara Indonesia di Jakarta. Nah disitulah cacat hukumnya pendirian Peradi. Secara prinsip, kalau pendirian suatu badan hukum itu cacat hukum, maka akan berdampak & berkonsekwensi logis-juridis kepada semua produk turunannya harus dianggap cacat hukum pula !
f. Koreksi dan Komplain terhadap Pendirian Peradi.
Tokoh adokat paling senior kala itu, Bang Adnan Buyung Nasution (ABN) berusaha mengoreksi pendirian Peradi yang menyimpangi marwah demokrasi dan tidak transparan. Karena merasa telah bersusah payah melahirkan UUA bersama komisi 3 DPR-RI yang selama ini belum terwujud. Keterpanggilan jiwanya muncul spontan dan merasa punya beban moral untuk meluruskan kembali pendirian Peradi yang menyimpang itu. Surat resmi beliau tertanggal 28 Desember 2005 bernomor 071/ABNP/ABN/XII/2005 dilayangkan beliau kepada DPP Peradi dan tembusannya kepada semua Lembaga Negara terkait. Usaha perbaikan itu dilakukannya secara terus menerus melalui kajian ilmiah beberapa kali seminar nasional di Jakarta dan akhirnya terwujud OA baru bernama “Kongres Advokat Indonesia” (K.A.I). Saat itu dideklarasikan bersama oleh lebih kurang 4.000 Advokat yang hadir dari seluruh Indonesia, bertempat yang sama dengan pendirian Peradi sebelumnya di Balai Sudirman, Jakarta Selatan pada tanggal 30 Mei 2008.
g. Pembubaran Peradi.
Setelah berdirinya OA KAI secara mantap atas dukungan ribuan advokat seluruh Indonesia, maka 4 pimpinan OA (lama), yaitu dari Ikadin, IPHI, HAPI dan APSI menarik diri dari Peradi serta menyatakan Pembubaran Peradi berdasarkan akta No. 67 Notaris di Jakarta tanggal 30 Desember 2008. Pembubaran itu diumumkan di harian Media Indonesia tanggal 9 Juni 2009. Akan tetapi walau sudah dibubarkan, tapi putusan MK No.101 tahun 2009 tetap menyatakan bahwa secara de facto diakui ada 2 OA di Indonesia, yaitu Peradi dan KAI.
h. Multi tafsir Pasal 28 (1) UUA terhadap Pasal 28 UUD’45.
Ketentuan pasal 28 (1) UUA ini sudah pasti dan bersifat khusus (lex specialis). Sebagian oknum Advokat mencoba kreasi/kecerdikan baru guna menyimpangi ketentuan yang ada, dengan mengacu kepada ketentuan pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang intinya “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat,” mencoba mendirikan Organisasi baru berdasarkan UU Ormas (Organisasi Kemasyarakatan) No. 17 tahun 2013. Menggunakan embel-embel ada kata “Advokat” pada sebagian nama organisasinya, yang seolah-olah membentuk OA baru pula. Eksistensi Organisasi seperti itu, saat ini dikenal dengan sebutan Ormas rasa OA (ORO). Semestinya pendirian setiap Organisasi profesi itu harus mengacu kepada UU Profesinya sendiri, bukan berdasarkan UU keormasan No.17 tahun 2013. Seperti pendirian organisasi kedokteran I.D.I mengacu kepada UU Kedokteran, organisasi Notaris I.N.I mengacu kepada UU Notaris, organisasi hakim IKAHI mengacu kepada UU Kehakiman atau UU MA-RI, dan lain-lain. Pimpinan ORO ini tidak pernah merasa bersalah karena advokat yang diproduknya juga diakui oleh pemerintah dan diambil sumpahnya oleh PT setempat walau Organisasinya tidak terdaftar pada system administrasi hukum umum (AHU) di Kementerian Hukum R.I.
Kebebasan berserikat dimaksud mestinya harus dimaknai sebagai wadah tempat pembinaan dan konsolidasi para anggotanya yang pantas sebagai PAGUYUBAN saja. Tetapi sebagian mereka ada yang berniat untuk menjadi pesaing dari OA yang sudah eksis (Peradi dan KAI). Menurut mereka, sepanjang tidak ada larangan dan tidak ada yang memberi sanksi, mereka anggap hal itu diperkenankan dan dibenarkan. Dan mereka merasa berhak pula sejajar dengan OA Peradi dan K.A.I. yang mengaku-ngaku mengemban wadah tunggal itu.
i. PKPA mutu rendah dan ilegal.
Ternyata Advokat yang dilahirkan ORO bisa juga disumpah oleh PT setempat. Asalkan memenuhi syarat seuai ketentuan pasal 3 UUA dan membayar uang administrasi prosesi sumpah profesi pada PT setempat. Sejak saat itu bermunculanlah Ormas Rasa OA (ORO) ini bagaikan jamur tumbuh di musim hujan di seluruh wilayah hukum Indonesia. Kantor pusat DPP nyapun ada juga di pelosok daerah tertentu jauh dari ibukota R.I Jakarta. Program pendidikan profesi PKPA mereka berbayar murah dan dilakukan secara online yang bisa meraup ratusan peserta didik sekaligus. Bahkan sertifikatnya juga bisa diperoleh secara e-sertifikat, seperti diberlakukan kampus perguruan tinggi swasta. Cara ini mereka jadikan sebagai salah satu sumber cuan, tanpa harus bertanggung jawab penuh akan produk advokat yang dihasilkannya bermutu atau tidak. Yang penting produk mereka sudah mendapatkan status Advokatnya dan seolah sudah mendapatkan privilege imunitas sebagai penegak hukum di masyarakat. Sehingga beban moral oknum pimpinan ORO ini merasa impas atas take and give uang yang diperolehnya dari peserta PKPA dan UPA.
- Sepanjang belum adanya perubahan terhadap pasal 28 (1) UUA, maka tidak bisa dinafikan Organisasi Profesi Advokat di Indonesia besifat SingleBar. Walau faktanya telah bermunculan Ormas Rasa OA (ORO) sejak tahun 2015 seiring terbitnya SK MA No.73, yang jumlahnya sudah melebihi dari 50 organisasi ORO.
- Pendirian suatu ORO pasti mengacu kepada UU Ormas No. 17 tahun 2013, dan tidak mengacu kepada pasal 28 (1) dan pasal 32 (4) UUA yang batas waktu pendiriannya sebelum tanggal 23 April 2005, sehingga tidak bisa dikualifikasikan sebagai Organisasi Profesi Advokat. Bahkan disinyalir pendirinyapun belum tentu semuanya Advokat yang memahami UUA. Kalau bukan OA tentu tidak diperkenankan untuk melakukan rekrutmen calon advokat, jika itu dilakukan maka akan berkonsekwensi logis juridis kepada produk calon advokat yang direkrutnya itu.
- Untuk mengefektifkan UUA secara berkepastian hukum, perlu adanya tindakan penertiban yang akan dilakukan pemerintah bersama-sama OA sebagaimana putusan MK No.101 dan MK No.36 guna meningkatkan kualitas dan marwah profesi advokat di masyarakatSelama 21 tahun sejak 2003 sampai saat ini belum ada UU organik berupa Peraturan Pemerintah (PP) yang .
- menerapkan & melaksanakan secara teknis UUA, yang dianggap sebagai salah satu kelemahan dan pemicu terjadinya ketidak pastian hukum pada UUA selama ini sehingga munculnya multi tafsir yang sangat merugikan marwah profesia advokat dan masyarakat pengguna jasa bantuan hukum para advokat.
- Inisiatif Balegnas DPR untuk merevisi UUA hendaknya bisa mewujukan “auxiliary owned state” dimana Organisasi Advokat berstatus sebagai Badan Negara yang diperluas yang bersifat independen dan mandiri serta bisa mengatur diri sendiri tanpa membebani APBN sebagaimana amanah pasal 28 (1) UUA, berwibawa dan diperhitungkan dan menjadi pilar penegak hukum yang sejajar dengan catur wangsa penegakkan hukum lainnya (Polisi, Jaksa dan Hakim).
- Perwujudan system SingleBar pada Organisasi Advokat Indonesia hendaknya bisa diterapkan dan berada pada level organisasi sekunder, dimana semua organisasi yang ada saat ini dianggap berada pada level primer tempat konsolidasi dan pembinaan para Advokat, dan organisasinya itu berstatus sebagai anggota pada Organisasi Advokat di level sekunder dalam bentuk Federasi organisasi. Sedangkan manajerial dan kepemimpinan Organisasi pada level sekunder bersifat formalitas yang diautr berdasarkan suatu protokoler khusus (sesuai prosedur tetap organisasi) dan kepemimpinannya dijabat secara berkala tahunan dan bergiliran (seperti halnya pada system kekuasaan formalitas pada kerajaan “raja diraja Malyasia”) dari pimpinan OA yang ada saat ini, guna menghindari dominasi dari kelompok tertentu.
- Standar rekrutmen dan standar passing grade Ujian Kompetensi Advokat.
- Standar materi yang akan diajarkan pada PKPA dan jadual pelaksanaan UPA.
- Standar persyaratan pemberian izin (konsesi) pelaksanaan PKPA di daerah kepada lembaga pendidikan yang akan ditunjuk melalui tender.
- Standar pembinaan Profesi Advokat dengan menerapkan kredit point yang harus ditempuh oleh tiap Advokat setiap tahunnya seperti mengikuti seminar ilmiah hukum, pendidikan formal dan non formal penunjang keprofesian, pengabdian sosial di masyarakat dalam bentuk penanganan kasus probono, mengajar di kursus PKPA dan semacamnya, dan lain-lain.