Pamona (Varia Advokat), 28 Oktober 2021 – Perusahaan raksasa PT Poso Energy diduga telah melakukan pelanggaran HAM terhadap masyarakat Pamona. Ternyata kehadiran perusahaan raksasa Poso Energy berbisnis di tanah Pamona membuat masyarakat menjerit dan menyedihkan.
Masyarakat hanya bisa terdiam dan menangis. Mereka sudah tidak bisa lagi mencari hidup untuk kehidupan yang normal dan layak. Sumber mata pencaharian mereka sudah tidak ada lagi karena sudah dibumihanguskan perusahaan.
Karena itu Posbakumadin Poso Tentena merasa terpanggil mendampingi masyarakat Pamona dan membawa persoalan ini hingga tuntas ke Kementerian Hukum dan HAM, Komnas HAM dan HAM Internasional.
Bermacam-macam cara perusahaan untuk membumihanguskan segala usaha masyarakat. Perusahaan Poso Energy telah membongkar dan menanam secara paksa semua Pagar Sugili yang ada di pinggiran Sungai Poso Desa Sulewana. Pembongkaran tersebut dikawal dan dijaga ketat oknum aparat bersenjata ditambah sekuriti perusahaan.
Melihat penjagaan ketat dari oknum aparat tersebut maka masyarakat tidak bisa berkutik. Mereka hanya diam dan menangis melihat sumber mata pencaharian mereka dibumihanguskan hingga tak ada yang tersisa. Padahal dari Pagar Sugili tersebut masyarakat bisa mendapatkan penghasilan untuk kehidupan sehari-hari keluarganya, termasuk untuk menyekolahkan anaknya hingga tingkat SMA bahkan kuliah.
Perlu diketahui, usaha Pagar Sugili ini telah berlangsung sebagai usaha masyarakat secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Tetapi sejak kejadian tersebut, sampai sekarang masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa.
Putusan Pengadilan Diabaikan Poso Energy
Selain Pagar Sugili, masyarakat juga memiliki usaha yang disebut karamba-karamba, tempat pemeliharaan ikan di Sungai Poso. Biasanya mereka panen ikan setiap 4 (empat) bulan sekali, atau 3 (tiga) kali panen setiap tahunnya. Hasil panen biasanya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga serta biaya pendidikan anak-anak mereka.
Awalnya, perusahaan juga berencana ingin membongkar karamba-karamba tersebut. Akan tetapi masyarakat menolak kecuali perusahaan terlebih dulu memberi modal untuk usaha lainnya. Masyarakat terus dan tetap bertahan mengingat karamba-karamba tersebut merupakan usaha mereka secara turun temurun.
Perusahaan kemudian melakukan gugatan perdata melalui pengadilan. Melalui putusan pengadilan, perusahaan berharap bisa membongkarnya karena punya legitimasi dari pengadilan.
Namun keadilan dan hati nurani hakim ternyata masih berpihak kepada masyarakat Desa Sulewana. Setiap kali persidangan masyarakat berupaya mengawalnya hingga akhirnya pengadilan menolak gugatan perusahaan.
Sebulan kemudian perusahaan ternyata tidak menghormati putusan pengadilan. Perusahaan membongkar karamba-karamba masyarakat dengan paksa tanpa mempedulikan masyarakat yang menangis dan menjerit melihat pembongkaran tersebut. Karamba-karamba mereka hancur lebur.
Proses pembongkaran ini begitu cepat karena menggunakan alat besar dan canggih dari atas kapal, sebagaimana yang diarahkan oleh Irfan, SH pengacara perusahaan.
Padahal, undang-undang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Tindakan perusahaan tersebut secara tidak langsung merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM terhadap masyarakat Pamona.
Masyarakat Kehilangan Hak atas Tanahnya
Di berbagai lokasi sekitar Pamona, tanah-tanah milik masyarakat dibongkar dan dirusak perusahaan. Namun sayangnya tidak dibayar oleh perusahaan, dalam hal ini PT Poso Energy yang berlokasi di Desa Sulewana, Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso. Kondisi ini membuat masyarakat cukup menderita mengingat biasanya mereka dapat memetik hasil dari kebun tersebut.
Sangat banyak lokasi tanah atau kebun, sawah masyarakat diambil dan digunakan perusahaan tanpa pembayaran. Bahkan, tanpa sepengetahuan pemiliknya, lokasi sawah atau perkebunan tersebut digunakan perusahaan untuk waduk dan atau jalan serta sarana-sarana lainnya guna kepentingan perusahaan.
Modus yang digunakan perusahaan adalan pembodohan dan atau pembohongan terhadap masyarakat dengan cara misalnya perusahaan membutuhkan lokasi A milik si A. Perusahaan lalu membayar seadanya kepada si B yang ada di lokasi B. Anehnya, pembangunan sarana dan prasarana tersebut justru di lokasi A padahal si A sendiri tidak pernah dibayar perusahaan.
Itupun si B disuruh tanda tangan kwitansi yang jumlahnya 3 (tiga) atau 5 (lima) kali dari jumlah yang diterima si B. Kemudian suratnya sendiri adalah Surat Keterangan Kepemilikan Tanah atau Surat Keterangan Penguasaan Tanah yang dibuat atau dikeluarkan Kepala Desa atau Kepala Kelurahan namun tanpa sepengetahuan camat setempat. Kepala Desa atau Lurah mengeluarkan dan menerbitkan SKT/SKPT tersebut tanpa dasar adanya hak kepemilikan seseorang atas tanah atau lokasi tersebut.
Atas rekayasa tersebut perusahaan kemudian membawa persoalannya ke pengadilan guna mendapatkan legalitas kepemilikan atas tanah dan lokasi dimaksud. Perusahaan tahu bahwa mereka selalu dimenangkan pengadilan. Oknum perusahaan dengan tidak sadar mengatakan lebih baik bayar pengadilan, yang mana jauh lebih murah daripada membayar tanah atau lokasi yang diambil. Padahal, yang seperti ini juga sejatinya bentuk pelanggaran HAM.
Tanah ulayat milik masyarakat hukum adat Pamona di Tentena, Kecamatan Pamona Puselemba, yang kini rusak oleh perusahaan Poso Energi juga tidak melalui pembicaraan terlebih dahulu secara musyawarah dengan majelis adat setempat. Hal ini pada dasarnya sebuah masalah yang akan mengganggu dan merusak tatanan adat istiadat di Pamona yang sudah ada dan berlaku turun temurun.
Kegiatan perusahaan PT Poso Energy meninggikan air Danau Poso telah mengakibatkan tenggelamnya sawah dan perkebunan milik masyarakat sekeliling tepi danau sehingga akhirnya masyarakat gagal panen. Hal ini juga sejatinya pelanggaran perusahaan PT Poso Energy terhadap Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2021 dan membuat penderitaan masyarakat semakin lengkap.
Lebih dari itu, masyarakat petani yang hidupnya dari hasil pertanian, kini sudah tidak ada lagi. Oknum perusahaan dengan enteng mengatakan buat saja sawah terapung kalau masyarakat tidak mau terima beras.
Perusahaan Poso Energy maunya memberikan beras seadanya kepada masyarakat terdampak, dengan catatan masyarakat tidak boleh menuntut lagi sawah yang terendam. Sedangkan masyarakat sendiri hanya memperoleh beras seadanya sekali saja untuk selamanya.
Terkait dengan tindakan perusahaan Poso Energy di aliran sungai dan danau Poso, termasuk juga pengambilan paksa atas sawah dan perkebunan, masyarakat Pamona menjadi sangat menderita. Mereka kini tidak berkuasa untuk melawan perusahaan raksasa tersebut yang berbisnis di balik PLTA di mana keuntungannya tidak terhitung lagi.
Jeritan masyarakat ini harus dibawa ke Kementerian Hukum dan HAM serta Komnas HAM. Bahkan juga harus diperjuangkan melalui HAM internasional, mengingat dugaan terjadinya pelanggaran HAM akibat kegiatan perusahaan. Padahal, masyarakat berusaha berpegang teguh pada konstitusi bahwa bumi, air dan yang terkandung di dalamnya dikuasai sebesar besarnya oleh negara untuk kesejahteraan masyarakat.
Sayarasa proses pembongkaran pagar sogili sudah sesuai prosedur karna warga yg memiliki iklad memberikan dengan ganti rugi pembayaran namun. Banyak warga yg saya liat setelah mendengar pagar sogili akan di bayar. Maka banyak warga mulai berbondong bondong membangun pagar sogili baru. Intinya jika merasa di rugikan lakukan prosedur hukum biar jelas apakah memang perusahaan yg salah atau memang warga yg salah.
Kimploik management adalah cara cara perusahaan untuk merampok hak hak masyarakat, dengan berdalih sdh membebaskan atau mengganti rugi dgn si A, padahal si A bukanlah pemiliknya melainkan si B, yg sejatinya adalah si A adalah orang perusahaan sendiri. Model begini sdh lazim dimana2, rakyat kecil dibuat tak berdaya, saat masyarakat mengkomplin, perusahaan akan enteng berkata bawa aja ke jalur hukum, padahal masyarakat juga dlm sisi hukum sdh terblokir dgn kekuasaan uang di tingkat kepolisian hingga pengadilan. Semoga teman2 dari LBH posbakumadin Poso dpt memperjuangkan hak hak masyarakat termarginal ini.