VARIA ADVOKAT – Belakangan ini beredar pertanyaan di kalangan Ketua Pengadilan Tinggi yang pada intinya mempertanyakan bagaimana sikap para ketua pengadilan tinggi sehubungan dengan permintaan penyumpahan advokat. Sebelumnya, Mahkamah Agung Republik Indonesia juga banyak menerima surat dari organisasi advokat baik dari KAI, Peradi maupun Peradin yang kesemuanya menyatakan diri sebagai organisasi advokat yang sah, sedangkan yang lainnya adalah tidak sah. Persoalan yang diajukan para advokat ke Mahkamah Agung ini sesungguhnya merupakan urusan internal organisasi. Namun karena perbedaan persepsi di antara para advokat ini menimbulkan ketidakpastian bagi pengadilan maka wajib bagi Mahkamah Agung untuk memberikan petunjuk kepada jajarannya dalam menyikapi kondisi yang berkembang. Mahkamah Agung sudah berusaha untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak antara lain dari Ketua Mahkamah Konstitusi, Menteri Hukum dan HAM, Kapolri, Jaksa Agung dan beberapa ahli hukum senior, namun masukan-masukan tersebut masih bervariabel.
Faktanya sekarang pelantikan dan pengambilan sumpah Advokat justru banyak mendapat protes keras oleh advokat dan organisasi advokat kerena dianggap telah melanggar ketentuan pasal 4 ayat 1 UU Advokat Nomor 18 tahun 2003 yang berbunyi: “Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka pengadilan tinggi di daerah domisili hukumnya”. Yang terjadi baru-baru ini pelaksanaan pelantikan dan pengangkatan sumpah Advokat tidak dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi tetapi dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia, oleh Majelis Permusyarakatan Ulama (MPU), dan oleh Sekretaris Jenderal organisasi advokat tertentu.
Menyikapi ketentuan yang tak lazim ini, sejumlah advokat mulai bersuara keras dan berniat melakukan somasi atau mengambil tindakan hukum terhadap apa yang menurutnya merupakan perbuatan haram. Mereka akan melaporkan hal ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan Laporan Polisi sebagai salah satu bentuk penipuan. Karena menurut undang-undang, yang berhak mengambil sumpah advokat bukanlah majelis ulama melainkan Ketua Pengadilan Tinggi.
Syukurlah ada Surat Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 052/KMA/V/2009 tanggal 1 Mei 2009 perihal: Sikap Mahkamah Agung terhadap Organisasi Advokat. Dalam surat ini, MA telah mengambil sikap tegas terhadap persoalan penyumpahan advokat dengan menginstruksikan Ketua Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia untuk apabila ada Advokat yang diambil sumpahnya menyimpang dari ketentuan pasal 4 (1) Undang-Undang Advokat Nomor 18 tahun 2003 tersebut, yaitu bukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi, maka sumpahnya dianggap tidak sah, sehingga yang bersangkutan tidak dibenarkan beracara di Pengadilan.
Dr. Harifin A. Tumpa selaku Ketua Mahkamah Agung RI dengan wisely, penuh kebijaksanaan, mengatakan, perselisihan antara organisasi advokat adalah urusan internal mereka dan pengadilan tidak dalam posisi mengakui atau tidak mengakui salah satu organisasi. Menurut Ketua MA, perselisihan antar organisasi advokat harus diselesaikan oleh para advokat. Dan apabila mengalami jalan buntu maka dapat diselesaikan melalui jalur hukum. Dalam Undang-Undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003, disebutkan bahwa organisasi advokat adalah bebas dan mandiri dan dibentuk sesuai ketentuan Undang-Undang. Ini berarti bahwa hanya boleh ada satu organisasi advokat, terlepas dari bagaimana cara terbentuknya organisasi tesebut yang tidak diatur dalam Undang-Undang.
Selama penyelesaian masalah tersebut belum ditemukan, Mahkamah Agung meminta kepada para Ketua Pengadilan Tinggi untuk tidak terlibat secara langsung atau tidak langsung terhadap adanya perselisihan tersebut. Ini berarti Ketua Pengadilan Tinggi tidak dapat mengambil sumpah advokat baru sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, karena akan melanggar pasal 28 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003. Dan para Ketua Pengadilan Tinggi diminta mendorong para advokat untuk bersatu, karena tidak bersatunya mereka akan menyulitkan dirinya sendiri, pengadilan, dan tentu saja para pencari keadilan.
Jadi, seorang advokat haruslah diambil sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Tinggi, sesuai dengan UU No.18 tahun 2003, bukan oleh majelis ulama. Kepada para advokat agar jeli dan waspada terhadap fakta yang salah kaprah dan jangan mau terjebak dalam suatu kubangan yang tidak pasti. Angkatlah sumpah seorang advokat berdasarkan prosedur yang ada sesuai dengan yang telah diatur Undang-Undang. (Redaksi)
=====
VARIA ADVOKAT – Volume 09, Juni 2009