Fiat Justitia Ruat Coelum

VARIA ADVOKAT – Jalan pikiran orang yang menghendaki dihapuskannya hukuman mati itu cenderung melindungi kehidupan manusia dalam arti pribadi. Jalan pikiran ini berpangkal dari filsafat Yunani yanng individualistis dan mengakibatkan sikap egosentris dan ogoistis (Nasroen, 1971).

Berbeda dengan filsafat Pancasila yang memandang hukum sebagai “a tool of social engineering” yaitu hukum harus dilihat pula dari kehidupan manusia dalam fungsi kemasyarakatannya, untuk menumbuhkan kesejahteraan masyarakat (debevordering van het algemeen welzijn).

Hak asasi manusia

Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada pribadi manusia yang tidak dapat di cabut oleh siapapun. HAM berguna untuk mempertahankan harkat dan martabat kemanusiaan. Perjuangan terhadap HAM telah diketahui sejak jaman nabi. Dengan diakuinya HAM didalam negara maka hubungan antar individu dan antara indivifu dengan pemerintah (subyek hukum) mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang (Kranenburg: evenredigheidsbeginsel).

Dikaitkan dengan landasan keadilan maka hukum harus dapat meletakkan harkat dan martabat kemanusiaan (human worth dignity) ditempat yang wajar, yiatu hak asasi yang melekat pada masing-masing pihak.

Karena hendak diterapkan dalam hubungannya dengan yang lain, hak asasi harus dibarengi dengan kewajiban asasi yang dipenuhi untuk dapat tegaknya hak asasi pihak lain. Jadi, biarpun hak asasi itu tidak dapat dicabut dari pribadi manusia, tetapi dalam interaksi dalam pergaulan hidup diperlukan adanya pengaturan, yang berarti pengaturan itu bukan pembatasan, tetapi justru untuk dapat dilindunginya hak asasi bagi masing-masing pihak. Sebab, pelaksanaan hak asasi tanpa adanya pengaturan dapat melanggar hak asasi pihak lain.

Pancasila

Dalam meletakkan hak asasi di tengah masyarakat tidak dapat dilepaskan dari latar belakang kejiwaan yang menjadi pembangun hidup bangsa Indonesia yang telah dirumuskan para pendiri RI dalam pembukaan UUD 1945. Membaca teks alinea ke 4 pembukaannya, menunjukkan bahwa negara bukan menjaga para individu dalam arti sempit, tetapi sebagai penyelenggara kesejahteraan umum yang mengatur kebutuhan rakyat baik kebutuhan material maupun immaterial.

Adalah tepat, jika para pendiri RI menjadikan perikemanusiaan dan perikeadilan sebagai “soko-guru” bagi manusia Indonesia dalam menjalan fungsi kemasyarakatannya, karena tanpa adanya dua faktor itu, maka manusia Indonesia hanya merupakan “serigala” bagi yang lain serta tidak dapat diciptakan suatu kedamaian dan kesejahteraan mayarakat.

Untuk menumbuhkan perikemanusian dan perikeadilan, manusia perlu mempunyai kesadaran bahwa manusia berkedudukan sebagai mahluk dari yang maha menciptakan alam semesta dan apa yang tersedia di alam ini diperuntukkan bagi kesejahteraan mahluknya secara keseluruhan.

Kesadaran itu akan menumbuhkan harkat dan martabatnya sebagai manusia serta sikap untuk tidak merasa mempunyai hal yang lebih dari yang lain. Tanpa kesadaran itu mengakibatkan perbuatan aniaya dalam segala bentuknya. Demi kesadaran itu pula kedaulatan rakyat yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 dilandasi oleh semangat kelima sila Pancasila. Kesadaran hukum dari masyarakat yang dijiwai oleh keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah meresap pada hati nurani akan menumbuhkan pribadi yang luhur dengan segala sifat kebaikannnya yang selanjutnya menumbuhkan kemanusiaan yang adil dan beradab dan akan meratakan jalan bagi persatuan Indonesia untuk menuju kepada “ultimate goal” yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tipe hubungan antara individu dan masyarakat (negara) dalam bidang hukum harus diletakkan dasar: (a) Tidak meletakkan individu diatas masyarakat atau sebaliknya, karena lebih mementingkan atau memberikan wewenang mutlak kepada salah satunya akan membawa perkosaan atau penindasan. (b) Tidak memisahkan individu dan masyarakat dalam polanya sendiri, sebab sebenarnya dalam suatu negera antara individu dan masyarakat tidak dapat dipisahkan, tetapi hanya dapat dibedakan. (c) Fungsi negara merupakan organisasi yang mempunyai wewenang mengatur hubungan antara individu yang satu dengan yang lain, sehingga negara itu ansich tidak mempunyai kepentingan sendiri.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa pandangan hidup bangsa ini tidak individualistis, yang meletakkan individu diatas negara dan mengagung-agungkan kebebasan pribadi dengan adagium “to make oneself happy.”

Hukuman Mati

Indonesia tidak akan menghapuskan hukuman mati terhadap anggota masyarakat yang telah melakukan perbuatan kejahatan diluar batas kemanusiaan dan peri keadilan. Sebab, dapat memporakporandakan kedamaian dan kesejahteraan masyarakat dan menghalangi tumbuhnya kemanusiaan yang adil dan beradab.

Pandangan hidup bangsa yang telah dituangkan dalam pembukaan UUD 1945 tidak mengagung-agungkan kebebasan pribadi yang bersikap egoistis dan egosentris yang meletakkan kepentingan individu diatas kepentingan masyarakat dan cederung mengorbankan kesejahteraan masyarakat untuk kepentingan individu.

Memang setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya (PS. 28A dan 281I UUD 1945). Namun dalam menggunakan haknya itu tidak boleh berlaku sewenang-wenang (rechtelijke willekeur) merugikan dan merusak masyarakat. Maka dalam PS 28J(2) UUD 1945 ditentukan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tanduk kepada pembatasan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Sebagai contoh diterbitkannya UUD No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika bagi pelaku yang memenuhi unsur delik yang diformulasikan dalam PS 80,82, dan 82 dapat dijatuhi hukuman mati didak bertentangan dengan ketentuan PS 28A dan PS 28J UUD 1945 karena dalam menggunakan hak hidup dan mempertahankan hak hidupnya mereka telah menggunakan haknya secara sewenang-wenang (rechtelijke willekeur) yaitu kejahatan yang sangat berbahaya bagi kelestarian kehidupan bangsa dan merusak ketenteraman kehidupan bangsa.

Bagitu pula segala kejahatan yang termasuk extra-ordinary crime seperti korupsi yang dapat merusak sendi-sendi kesejahteraan masyarakat harus dapat dijatuhi hukuman mati, karena dengan langkah demikian itu akan dapat menumbuhkan kehidupan masyarakat yang sejahtera sebagaimana sinyalemen dalam Alquran bahwa dengan hukuman qisas itu akan menumbuhkan kehidupan. (Bachrun Martosukarto)

=====

VARIA ADVOKAT – Volume 11, Oktober 2009

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *