Fiat Justitia Ruat Coelum

VARIA ADVOKAT – Ketika Negara bersifat otoriter seperti pada masa Orde Baru dan hak individu (hak asasi manusia) diabaikan, konsep bantuan hukum struktural adalah jawaban yang tepat terhadap problem kemiskinan struktural. Ditengah kondisi sosial politik otoriter era Orde Baru memang diperlukan peran organisasi bantuan hukum yang berseberangan dengan pemerintah seperti yang dilakukan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Tetapi selama periode 1980-an dan 1990-an banyak fakir miskin yang kecewa dengan konsep bantuan hukum struktural karena YLBHI tidak membela perkara individual dan perkara di luar hak politik. YLBHI menjadi tidak populer dan tidak merakyat. Demikianlah pilihan yang telah diambil oleh YLBHI pada masa itu.

Namun ketika negara tidak lagi otoriter seperti pada era reformasi sekarang ini dan hak individu lebih mendapatkan perhatian, bantuan hukum struktural sudah tidak dapat dipertahankan. Pada era reformasi sekarang organisasi bantuan hukum tidak perlu lagi berseberangan dengan pemerintah. Negara harus diajak bekerjasama untuk memberikan keadilan kepada semua orang terutama kepada fakir miskin. Format kerjasama seperti ini mestinya terjalin dengan mengedepankan konsep bantuan hukum yang responsif.

Dalam konsep bantuan hukum responsif, semua bidang hukum dan hak asasi manusia fakir miskin sama pentingnya untuk dibela oleh organisasi bantuan hukum. Pada konsep ini pula organisasi bantuan hukum ikut membela perkara individu dan perkara di luar hak politik yang sebelumnya tidak tersentuh.

Konsep ini pula yang memberi peluang seluas-luasnya untuk mewujudkan peran organisasi bantuan hukum menjadi tampak utuh, tidak setengah-setengah.

Peluang yang diberikan konsep diatas tepat diterima. Hal ini mengingat bahwa publik mengatahui suatu organisasi bantuan hukum tidak boleh menolak memberikan bantuan hukum.

Selain itu, mengingat bahwa dalam pemberian bantuan hukum, pembelaan dilakukan untuk semua bidang hukum. Termasuk pula untuk perkara pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Organisasi bantuan hukum diwajibkan membela tanpa membedakan jenis HAM yang dilanggar. Sebab, HAM bersifat tidak dapat dicabut (non-derogable) atau tidak dapat dipilahpilah (inalienable). Apabila salah satu HAM diabaikan maka semua HAM secara keseluruhan diabaikan.

Secara faktual suatu organisasi bantuan hukum tidak mungkin siap melayani semua permintaan pelayanan konsultasi dan bantuan hukum, semua bidang hukum, dan semua jenis HAM.

Begitupun, apabila organisasi yang bersangkutan tidak mempunyai keahlian dalam satu bidang hukum, dia dapat melimpahkan perkara kepada atau bekerjasama dengan organisasi bantuan hukum yang lain.

Pada konteks inilah publik dapat mengerti mengapa dalam praktek sehari-hari terjadi seleksi perkara oleh organisasi bantuan hukum. Di lapangan selalu ditemukan berbagai ciri khas pembelaan.

Pertama pembelaan oleh masing-masing organisasi bantuan hukum dilakukan menurut kompetensi dan prioritas. Misalnya, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) yang memfokuskan diri pada isu-isu hak politik atau LBH APIK yang fokus pada isu-isu tentang perempuan.

Kedua, pembelaan yang dilakukan dalam perkara kolektif maupun individual. Misalnya, pembelaan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang hak asasi manusianya dilanggar.

Ketiga, pembelaan yang dilakukan melalui kerjasama antara pemerintah dengan organisasi non pemerintah. Misalnya, dengan penyalur TKI dan TKW, organisasi bantuan hukum, dan organisasi HAM. Dalam pembelaan ini organisasi bantuan hukum dapat berperan sebagai konsultan hukum dan membela nasib TKI dan TKW. Membela jam kerja, hak cuti, gaji standar, cuti haid, cuti hamil. Membela hak-hak kolektif para buruh seperti perlakuan yang manusiawi dan bermartabat karena hak kolektif sama pentingnya dengan hakhak individual para buruh.

Federasi Bantuan Hukum Seluruh Indonesia

Pada dasarnya setiap organisasi bantuan hukum harus menerima setiap permintaan pembelaan dari fakir miskin menyangkut semua pelanggaran HAM secara cuma-cuma. Penolakan menangani perkara bidang hukum tertentu tidak sesuai dengan konsep bantuan hukum responsif.

Pada konteks melimpahkan atau bekerja sama perkara seperti yang disinggung diatas dapat dimaklumi mengapa diperlukan suatu organisasi formil. Dengan kata lain, disinilah pentingnya kehadiran federasi bantuan hukum seluruh Indonesia demi kemajuan organisasi bantuan hukum.

Federasi ini dapat mengkoordinasi kerjasama antarorganisasi bantuan hukum di seluruh Indonesia agar semua jenis perkara fakir miskin dapat dibela oleh organisasi bantuan hukum. Selain itu, federasi ini juga dapat menghimpun dana bantuan hukum yang diperoleh dari negara maupun masyarakat. Kemudian, federasi ini dapat memiliki tim pemikir (think tank) yang mampu memberikan pemikiran yang progresif. Tidak masalah apakah tim think tank itu berada di luar atau di dalam struktur organisasi bantuan hukum.

Selanjutnya, ditentukan standarisasi yang wajib dipenuhi suatu organisasi bantuan hukum agar dapat menjadi anggota federasi.

Standar untuk dapat menjadi anggota federasi adalah sebagai berikut. Harus memiliki beberapa kantor. Harus menggalang dana. Harus mempunyai inventaris dua mobil operasional, sepuluh sepeda motor. Juga harus mempunyai sepuluh pembela umum dan paling tidak telah menangani 120 perkara pidana dan 120 perkara perdata setiap tahun.

Fakir miskin yang dikenai fee oleh suatu organisasi bantuan hukum berhak melaporkannya kepada federasi bantuan hukum.

Berkaitan dengan pemurnian konsep bantuan hukum cumacuma maka harus diterapkan sanksi bagi organisasi bantuan hukum yang mengenakan fee jasanya kepada fakir miskin. Sanksi itu dapat berupa mengeluarkannya dari anggota federasi. Tidak cuma dipecat saja.

Sanksi itu juga membawa konsekuensi dimana organisasi bantuan hukum tersebut tidak berhak memperoleh lisensi berpraktek di pengadilan dan tidak berhak memperoleh dana subsidi dari pemerintah.

Sejalan dengan standarisasi yang diberlakukan kepada organisasi bantuan hukum untuk lolos menjadi anggota federasi bantuan hukum maka konsep bantuan hukum responsif tersebut perlu dimasukkan dalam undangundang bantuan hukum. Sebuah undang-undang yang mengatur hukum dan mekanisme pemberian bantuan hukum kepada fakir miskin.

Diharapkan, melalui pembentukan undang-undang bantuan hukum, konsep bantuan hukum pro bono (demi kebaikan) tidak disemberonokan, tidak disubyektifkan.

Akhirnya, kapankah Indonesia mengatakan “Sayonara bantuan hukum yang buruk.” (Advokat Ropaun Rambe)

=====

VARIA ADVOKAT – Volume 11, Oktober 2009

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *