Balikpapan (Varia Advokat), 30 Agustus 2024 – Di tengah berlangsungnya KONGRES-X PERADIN di Balikpapan, terciptalah sebuah diskursus yang sarat dengan gairah dan intensitas, berfokus pada rekomendasi yang dipersembahkan oleh Halim Jeverson Rambe, SH.M.AD Diskusi ini, seperti lonceng kebenaran yang menggema, segera menggugah kesadaran kolektif para partisipan. Mereka tidak hanya diajak menelusuri kedalaman pemikiran rasional mereka, tetapi juga dihadapkan pada dilema sosiologis yang mendalam—antara kepastian hukum yang diidealkan dan kenyataan sosial yang mereka hadapi.
Diskursus ini memaksa para partisipan untuk merefleksikan posisi mereka dalam masyarakat yang dinamis, di mana hukum sering kali berhadapan dengan realitas kekuasaan dan kepentingan sosial. Seperti cermin yang memperlihatkan kontradiksi antara idealisme hukum dan praktiknya, perbincangan ini memperlihatkan baik ketegasan keyakinan maupun keraguan mereka akan kemampuan hukum dalam menjawab kompleksitas masalah sosial di Indonesia.
Sejak kemerdekaan Indonesia 79 tahun yang lalu, lima tahun terakhir ini dipandang sebagai periode paling suram dalam sejarah pendidikan hukum di Indonesia, ditandai oleh berbagai pelanggaran dan penyimpangan serius terhadap prinsip-prinsip Konstitusi. Meskipun secara formal Indonesia dikenal sebagai negara hukum, pada kenyataannya, telah terjadi transformasi yang mengarah pada dominasi kekuasaan, di mana supremasi hukum sering kali diabaikan demi kepentingan politik atau kekuatan tertentu.
Hal ini terlihat jelas dalam beberapa putusan penting, seperti Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 90/PUU-XXI/2023, Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi No. 5/MKMK/L/11/2023, dan Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu No. 135-PKE-DKPP/XII/2023, yang secara simbolis menandai keruntuhan benteng terakhir perlindungan konstitusional. Putusan-putusan ini tidak hanya menunjukkan melemahnya integritas dari institusi hukum, tetapi juga menyoroti ketergantungan yang semakin kuat pada kekuasaan eksekutif dan politik dalam penegakan hukum di Indonesia, menjadikan periode ini sebagai babak kelam bagi cita-cita negara hukum.
Putusan Mahkamah Agung No. 23/P/HUM/2024 memberikan sinyal kuat kepada publik bahwa prinsip kemenangan hukum yang adil dan beradab, yang seharusnya berpihak pada kepentingan rakyat, semakin memudar. Sebaliknya, yang tampak dominan adalah “hukum kekuasaan,” di mana kepentingan rezim penguasa lebih diutamakan dibandingkan perlindungan hak-hak dan kedaulatan rakyat.
Kondisi ini semakin memperburuk persepsi masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi, yang sering kali dijuluki sebagai “Mahkamah Kekuasaan,” sebuah ironi yang mencerminkan pergeseran institusi hukum dari peran sebagai penjaga konstitusi menuju alat legitimasi kekuasaan. Transformasi ini bukan hanya meruntuhkan kepercayaan terhadap lembaga peradilan, tetapi juga mengancam fondasi negara hukum yang seharusnya melindungi kepentingan umum dari penyalahgunaan kekuasaan.
Menghadapi situasi ini, PERADIN harus berkomitmen penuh untuk memulihkan martabat dan integritas Mahkamah Konstitusi dengan berlandaskan pada prinsip adagium: Quid est leges sine moribus, yang berarti “apa arti hukum tanpa moralitas.” Ungkapan ini menegaskan bahwa hukum tanpa fondasi etika dan moral hanya akan menjadi sekumpulan aturan kosong yang kehilangan makna esensialnya.
Tanpa adanya moralitas sebagai landasan, hukum berisiko besar disalahgunakan, menjadi alat kriminal yang melayani kepentingan segelintir pihak, dan pada akhirnya mengkhianati semangat nasionalisme yang seharusnya dijunjung tinggi. Oleh karena itu, PERADIN harus berperan aktif dalam mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum dengan mengedepankan integritas moral yang kuat, demi terciptanya keadilan yang sesungguhnya.
Nasionalisme yang dinyalakan oleh para pahlawan dan pendiri bangsa Indonesia pada awal abad ke-20 adalah api perjuangan yang menyala-nyala, penuh dengan semangat kritis, radikal, revolusioner, dan dinamis. Ini bukan sekadar perlawanan fisik, tetapi filosofi perjuangan yang berakar kuat pada moralitas dan etika luhur, yang menempatkan Hak Asasi Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat di atas segala-galanya.
Nasionalisme ini adalah panggilan jiwa untuk menghancurkan belenggu penjajahan dan mewujudkan kemerdekaan yang sejati. Nilai-nilai moral dan etika perjuangan ini kemudian mengalir deras, terkristalisasi dengan sempurna dalam Pancasila—bukan hanya sekadar dasar negara, tetapi juga simbol dari jiwa bangsa yang menjunjung tinggi martabat, kebebasan, dan kemanusiaan. Pancasila menjadi bintang penuntun yang menyatukan, membimbing, dan membakar semangat berbangsa, mencerminkan cita-cita luhur untuk membangun negeri yang bebas, adil, dan bermartabat di bawah panji kebangsaan yang tidak pernah padam.
Dalam kerangka tersebut, PERADIN (Perkumpulan Advokat Indonesia) perlu mengartikulasikan sikap dan tindakan yang selaras dengan semangat “IKRAR PERADIN” serta tema KONGRES-X PERADIN, yaitu “Membangun Moral Bangsa yang Beradab dengan Revolusi Akhlak Menuju Supremasi Hukum.” Tema ini dianggap sangat relevan dan kontekstual, mengingat kemunduran budaya hukum yang tengah melanda tanah air.
Transformasi moral yang menyeluruh menjadi prasyarat esensial bagi tercapainya supremasi hukum yang sejati, di mana etika dan integritas harus menjadi landasan utama dalam setiap aspek penegakan hukum. Dalam situasi ini, PERADIN memiliki tanggung jawab intelektual dan etis yang besar untuk menjadi penggerak perubahan, memulihkan martabat hukum, serta membangun kembali sistem hukum yang berakar pada nilai-nilai moral yang kokoh.
Melalui pendekatan yang kritis dan reflektif, PERADIN diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran kolektif tentang pentingnya keadilan substantif dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum di Indonesia. Tindakan ini bukan sekadar respons terhadap kondisi yang ada, tetapi merupakan upaya strategis dan mendasar untuk memastikan bahwa hukum tetap berfungsi sebagai pilar keadilan yang tidak tergoyahkan oleh kekuatan politik atau kepentingan sempit.
Untuk membangun dan memulihkan kembali budaya hukum yang telah mengalami kemerosotan, perlu dihadirkan “Pendidikan Budaya Hukum” sebagai elemen kunci dalam kurikulum di sekolah menengah dan perguruan tinggi. Pendekatan ini tidak sekadar mentransmisikan pengetahuan hukum, tetapi juga berfungsi sebagai alat transformasi sosial yang menanamkan rasa malu, rasa hormat, dan tanggung jawab moral yang kuat dalam diri setiap warga negara.
Sebagaimana di masa-masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, ketika nilai-nilai moral dan etika bangsa menjadi pilar kokoh dalam membentuk identitas negara yang berdaulat, pendidikan ini diharapkan dapat membangkitkan kembali semangat kebangsaan yang berlandaskan integritas dan keadilan. Di era tersebut, hukum bukan hanya perangkat aturan, melainkan jiwa perjuangan yang berakar pada prinsip moralitas.
Dengan menanamkan pendidikan budaya hukum sejak dini, kita berharap masyarakat akan kembali memiliki rasa malu dan tanggung jawab yang mendalam—sebuah mekanisme sosial yang menjaga keseimbangan dan martabat berbangsa, melampaui sekadar penegakan hukum, tetapi juga melibatkan kesadaran etis yang berkelanjutan. Seperti di masa keemasan awal Republik, generasi mendatang harus dihidupi oleh spirit moralitas dan hukum yang tak hanya terikat pada teks konstitusi, tetapi juga pada etos kebangsaan yang luhur. (R-R)
Betul sekali, moral, adab, wajib diletakan diatas segalanya, salam sehat, sukses selalu PERADIN jaya… kembalikan kaidah dan marwah hukum yg sekarang dibengkokkan oleh kekuasaan rezim👍🙏🙏