VARIA ADVOKAT – Perseteruan Organisasi Advokat sebagai wadah tunggal tidak habis-habisnya, Perseteruan ini semakin meruncing dengan turut campurnya Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan menerbitkan SKMA Nomor: 089/KMA/VI/ 2010 tertanggal 25 Juni 2010 yang pada intinya organisasi advokat yang disepakati dan merupakan satu-satunya wadah profesi advokat adalah Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).
Penerbitan SKMA Nomor: 089/KMA/VI/2010 tertanggal 25 Juni 2010 sudah tentu sangat merugikan organisasi Peradin, hal ini disebabkan SKMA No. 089 tersebut sangat bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dengan SKMA sebelumnya Nomor : 052/KMA/V/2009 tertanggal 01 Mei 2009 dan Nomor : 065/ KMA/V/2009 tertanggal 20 Mei 2009 yang pada intinya Mahkamah Agung telah mengakui ada 3 (tiga) organisasi Advokat yang mengklaim dirinya sebagai organisasi yang sah yaitu: PERADI, KAI dan PERADIN.
Dengan diterbitkannya SKMA RI Nomor : 089/KMA/ VI/2010, sudah tentu sangat merugikan organisasi Advokat PERADIN yang diketuai Ropaun Rambe SH, sehingga Peradin mempertanyakan dan meminta penjelasan dasar-dasar penerbitan dan dukumen atas terbitnya SKMA No.089 tersebut.
Menurut Rambe, Peradin telah mengirim kepada Mahkamah Agung dengan surat nomor : 049/DPP.PERADIN/X/2010 tertanggal 22 Oktober 2010, namun Mahkamah Agung R.I tidak menjawab secara substansial isi surat peradin tersebut, dan sangat menyimpang sebagaimana suratnya nomor 179/KMA/XII/2010 tertanggal 27 Desember 2010.
Sebagai akibatnya, PERADIN telah melaporkan Ketua Mahkamah Agung RI ke Komisi Informasi Publik mengenai sengketa informasi publik sesuai Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang menurut Rambe, Komisi Informasi Pusat adalah merupakan sarana atau sebagai salah satu solusi bagi masyarakat ataupun subjek hukum untuk dapat meminta informasi dari istansi pemerintah yang selama ini sangat sulit sekali ditembus.
Beracara di Komisi Informasi Pusat sama saja dengan beracara di Peradilan umum yaitu ada tahapan Mediasi dan tahapan yudikasi. Namun sengketa informasi yang diajukan Peradin mengenai SKMA No.089 pada proses tahap mediasi telah terjadi kesepakatan perdamaian (dading) yang ditandatangani DPP PERADIN dan Mahkamah Agung RI. Kesepakatan perdamaian tersebut menyebutkan Mahkamah Agung RI akan memberikan informasi yang berisi penjelasan terkait dengan terbitnya SKMA No: 089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010 serta lampiran surat, dokumen pendukung dan dasar-dasar penyusunanya dalam jangka waktu 14 hari kerja setelah mediasi ini dilaksanakan. Dan kesepakatan mediasi tersebut dituangkan dalam Putusan Komisi Informasi Pusat No : 73/XII/KIP-PS-M/2010 yang diputus tanggal 2 Februari 2010.
Setelah jangka waktu 14 hari yang telah ditentukan Mahkamah Agung RI menindak-lanjuti pelaksanaan mediasi tersebut dengan Surat Nomor : 12/S.Kel/Bua.6/Hs/II/2011 tertanggal 21 Februari 2011, namun surat tersebut tidak menjawab permintaan penjelasan Peradin mengenai dasar-dasar penerbitan SKMA 089 tersebut.
Menurut Rambe, surat Mahkamah Agung tentang pelaksanaan Mediasi tersebut sama dan sangat identik dengan surat Mahkamah Agung Nomor 179/KMA/XII/2010 tertanggal 27 Desember 2010, dengan kata lain surat tersebut tidak menjawab secara substasial surat DPP.Peradin yang menjadi objek sengketa di Komisi Informasi pusat, sebagai akibatnya Peradin meminta petunjuk kepada Komisi Informasi Pusat mengenai langkah-langkah apa yang harus ditempuh Peradin agar Mahkamah Agung taat dan patuh melaksanakan kesepakatan dading tersebut apalagi di Komisi Informasi Pusat tidak punya daya eksekusi dikarenakan KIP tidak mempunyai Juru Sita sebagaimana Peradilan umum lainnya.
Komisi Informasi Pusat (KIP) menanggapi kendala atau masalah yang disampaikan Peradin tersebut sebagaimana yang tertuang dalam suratnya nomor: 76/KIP/V/2011 tanggal 25 Mei 2011 pada angka 4. menyebutkan “4. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kesepakatan tersebut, maka pihak yang merasa dirugikan dapat menempuh jalur hukum perdata ke Pengadilan Negeri atas alasan wan prestasi. Selain itu, apabila tidak ada upaya salah satu pihak untuk melaksanakan putusan mediasi sama sekali, maka pihak yang merasa dirugikan juga dapat membawa putusan mediasi Komisi Informasi sebagai salah satu bahan pertimbangan pihak kepolisian untuk membuktikan unsur pidana sesuai dengan Pasal 52 UU KIP mengenai pembohongan publik”.
Terhadap jawaban atau tanggapan tersebut, khususnya mengenai pembohongan publik menurut Rambe, jika persoalan ini diajukan ranah hukum baik perdata maupun Pidana, berarti jeruk makan jeruk, atau hal yang mustahil anak mengadili bapak, seandainya bisa sudah tentu akan berdampak phisikologis bagi sianak sehingga menurut rambe, Peradin meminta Mahkamah Agung untuk mempunyai moral dan budaya malu serta memberikan contoh yang baik sebagai panutan akan taat dan patuh terhadap putusan hukum tidak kecuali putusan Komisi Informasi Pusat.
=====
VARIA ADVOKAT – Volume 13, Agustus 2011