VARIA ADVOKAT – Nasib seseorang tak ada yang tahu. Begitu juga dengan Yahya Tonang Tongqing. Pria keturunan suku Dayak Kutai Barat (Kubar) Kalimantan Timur yang dulunya hidup di pedalaman kini malah jadi pengacara hebat.
Pria kelahiran 1981 asal kampung Lambing Kecamatan Muara Lawa Kabupaten Kutai Barat ini adalah sosok multi talenta. Selain jadi pengacara hebat, Tonang juga menjelma jadi ahli mesin diesel. Uniknya perjalanan Tonang jadi advokat dan ahli mesin handal dilalui dengan penuh perjuangan.
Sebab dia hanyalah anak pedalaman yang untuk mengenal dunia luar seolah hanyalah mimpi. Apalagi Tahun 1980-an kampung Lambing hanyalah sebuah dusun kecil tanpa hiruk pikuk moderenisasi dan teknologi modern seperti sekarang ini.
Meskipun dalam kesulitan, Ayahanda Tonang rupanya tak mau hidup putra putrinya kelak tambah susah. Sehingga ia terus memotivasi Tonang dan empat anak lainnya agar tidak patah semangat.
Motivasi itu rupanya membuat anak ketiga dari lima bersaudara itu makin semangat. Tonang kecil akhirnya mengikuti keluarganya pindah ke Tanggarong dan mulai sekolah di SD 003 Tenggarong yang kala itu masih jadi kabupaten Kutai. Dia lulus SD Tahun 1994 dan melanjutkan Pendidikan SMP Negeri 1 Tenggarong dan lulus tahun 1997.
Namun nasib Yahya Tonang sedikit beruntung karena ayahnya adalah seorang guru dan harus berpindah-pindah tempat tugas yang membuat Yahya kecil belajar banyak hal.
Pertama Kali Terjun di Dunia Advokasi Hukum
Tonang bercerita awal mula terjun di dunia hukum terjadi akibat ketidak adilan yang dirasakan. Bahkan ayahnya sendiri hampir dipenjara gara-gara salah dalam penerapan hukum. Tonang kemudian belajar ilmu hukum dari berbagai literatur dan buku-buku.
“Saya dilantik tahun 2016 tapi semangatnya ingin menjadi advokat itu sebenarnya sejak tahun 2007. Waktu itu ada masalah. Tapi namanya kita berharap orang (pengacara) ada aja yang menurut kita kayaknya kurang. Padahal kan setiap masalah itu pasti ada sebab dan akibat. Nah itu yang saya pelajari dalam buku-buku. Jadi buku-buku di Gramedia itu saya borong banyak sekali,” jelas Tonang.
Ilmu yang dipelajari Tonang dalam buku itu tak cukup jadi senjata untuk menangani perkara di lembaga peradilan. Maka dia memilih memperdalam ilmu hukum dengan kuliah di Univesitas 17 Agustus 1945 (Untag) Samarinda tahun 2013.
“Kita kira namanya orang ditangkap polisi ya pasti bersalah, memang ada asas praduga tak bersalah tapi yang saya baca-baca referensi kok kayaknya nggak ada orang bebas. Berarti setiap orang ditangkap aparat pasti dia dihukum. Dari situlah saya mulai berpikir coba ah kuliah. Nah itu itu awal mula semangatnya saya ingin jadi seorang advokat,” lanjutnya.
Lebih dari itu Tonang merasa banyak peristiwa baik pidana maupun perdata jika yang berkasus adalah orang biasa, petani atau masyarakat adat maka hampir pasti masuk penjara. Apalagi yang dihadapi adalah konglomerat atau perusahaan. Kejadian itu mulai marak sekitar tahun 2000-an hingga muncul istilah kriminalisasi.
“Jadi memang tahun dua ribuan itu perusahaan sudah mulai masuk. Perusahaan tambang batubara atau sawit. Nah ternyata setiap orang yang mempertahankan haknya mereka selalu saya dengar dipidana. Loh ini haknya dia, ada tanam tumbuhnya, ada saksinya (tapi) namanya orang di Hulu ini kan jarang sekali bikin surat. Itu semua dari warisan adat turun temurun ada lembo ada macam-macam itulah suratnya mereka. Tapi kenyataannya pada saat mereka menahan jangan kerja di situ mereka malah ditangkap,” ujar ahli hukum pidana tersebut.
Proses-proses seperti itu membuat dia menjadi penasaran. Apakah ada celah untuk melakukan pembelaan terhadap mereka. Sebab baginya seseorang tidak bisa dikatakan bersalah sebelum ada vonis pengadilan, meski sebelumnya sudah jadi tersangka atau terdakwa sekalipun.
“Sementara ini kan pidana. Nah kalau kita berbicara tentang perdata dia tidak punya legalitas, bagaimana dia bisa menggugat ke pengadilan sementara dia mengajukan surat aja aparat kampung atau desa juga sudah sulit dimintai pertolongan,” lanjut Tonang.
Kondisi itu membuat dia makin geram dan memacunya lebih giat belajar ilmu hukum.
“Setelah kuliah barulah saya bisa memahami ternyata antara dunia hukum dengan dunia awam itu jauh berbeda. Ada orang mengatakan kalau kamu nyuri untuk makan itu nggak apa-apa, tapi ternyata hukum tidak bicara begitu hukum tidak bicara kasihan, kalau memang salah ya salah,” katanya.
Teori dan Praktik Penerapan Pasal Kerap Tak Sejalan
Penerapan aturan yang salah oleh Aparat Penegak Hukum (APH) juga tak luput dari perhatian Tonang. Menurutnya masih banyak korban salah pasal akibat ketidakcermatan APH dalam menangani perkara. Hal itu juga jadi alasan Tonang membela masyarakat meski diancam hukuman berat.
“Kalau teorinya saya mengakui dalam hukum pidana itu sudah cukup bagus. Karena semua itu menitikberatkan kepada Forneman atau niat pelaku. Tapi yang terjadi kadang di dalam aplikasinya itu dikesampingkan niat pelaku, yang penting apa yang ada di depan mata,” sambungnya.
Contoh sekarang ini jarang sekali kita dengar istilah hukum yang namanya manus ministra atau orang yang tersesatkan.
“Orang yang tersesatkan itu adalah orang yang tidak tahu tiba-tiba dia berada di dalam posisi itu. Kalau nggak salah bahasanya itu namanya compulsion. Dia sendiri tidak tahu keadaan itu tapi dia tertuduh sebagai pelakunya,” jelas sang lawyer.
Kasus Narkoba Paling Banyak Dipaksakan
Kasus yang paling banyak dialami dengan delik compulsion adalah kejahatan Narkoba. Dalam beberapa kasus orang yang diproses hukum bukan pelaku sebenarnya tetapi orang yang saat kejadian berada sama-sama dengan pelaku, padahal dia tidak tahu apa-apa. Atau pemakai narkoba yang seharusnya direhabilitasi malah dijadikan pengedar atau bandar.
“Maka ada Pasal 132 itu siapa yang mengetahui itu wajib lapor, sementara dia sendiri sebenarnya tidak tahu aktivitas itu. Kadang kita temukan di lapangan siapa pun yang ada di dalam lingkungan itu semua adalah pelaku, ini gimana,” pungkas Tonang.
Yahya Tonang menyebut penerapan hukum yang salah ini adalah Pekerjaan Rumah bagi APH dan pakar-pakar hukum dalam negeri. Sebab jika dibiarkan maka harapan masyarakat menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi dalam mencari keadilan akan sulit terwujud.
“Ini yang kadang menjadi PR besar bagi para penegak hukum khususnya advokat itu melakukan pembelaan pendampingan hukum sejak awal pemeriksaan,” sebut Tonang.
Soal Penyidik Paksa Buat Pengakuan Palsu
Yang lebih prihatin lagi lanjut dia ada oknum penyidik kerap memaksa seseorang mengakui kesalahan atau membuat pengakuan palsu meski tidak melakukan perbuatan pidana.
“Tetapi sebenarnya pengakuan palsu itu sendiri harus dibuktikan juga. Jadi PR penegak hukum bukan hanya begitu dengar pengakuan lantas inilah pelakunya begitu, tidak. Makanya saya katakan walaupun tidak ada yang sempurna di dunia ini, tapi sebenarnya praktek-praktek itu di payungi teori yang cukup sempurna hanya bagaimana aplikasinya,” tutur penasihat hukum muda ini.
Untuk itu seorang advokat kata dia harus membekali ilmu hukum dengan baik.
“Dalam mengaplikasikan hukum kalau kita sebagai pelaku hukum sendiri nggak ngerti hukum itu menjadi persoalan,” cetus Yahya Tonang Tongqin.
Meski begitu dalam membela kliennya Tonang selalu mengedenpankan asas kejujuran. Tujuannya agar advokat bisa mencari celah-celah hukum yang bisa digunakan saat persidangan di pengadilan.
“Makanya ada filosofi mengatakan berpikir dulu sebelum berbuat. Masyarakat awam yang tidak mengerti hukum dia harus bisa menyadari pada saat dia melakukan kesalahan dia harus terbuka, harus jujur kepada advokat yang membela. Karena kami ini bukan seorang peramal bukan seorang ahli psikologi bisa tahu isi otaknya si klien. Kalau dia udah bohong itu menjadi kesulitan bagi kami mendampingi memberikan pembelaan,” pesan pria kelahiran 1981 ini.
Bukan Pengacara Kaleng-Kaleng. Pernah Bebaskan 6 Terdakwa
Meski sepak terjangnya jadi lawyer kurang dari 10 tahun, pengacara yang tergabung dalam Perkumpulan Advokat Indonesia (Peradin) ini bukanlah pengacara kaleng-kaleng.
Setidaknya Tonang berhasil membebaskan para terdakwa dari hukuman penjara sekitar 6 sampai 8 kasus.
Catatan pertamanya terjadi di tahun 2016. Kala itu Tonang membebaskan orang yang dituntut 13 tahun penjara di pengadilan Negeri Samarinda dan divonis bebas.
Kemudian 2017 dia juga membebaskan terdakwa dalam kasus illegal mining di Pengadilan Negeri Tenggarong dari tuntutan 2 tahun 6 bulan jadi bebas murni.
Akhir 2017 Tonang membuat terdakwa kasus penggelapan uang ratusan juta divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Samarinda.
“Kemudian di Pengadilan Negeri Sangata dalam persidangan saya hanya dari luar saja artinya saya duduk di dalam ruang sidang tapi hanya sebagai pengunjung. Saya membantu dia buat pledoi kemudian diterima oleh Hakim dan dia divonis bebas. Awalnya dia dituntut 4 tahun penjara,” kisah Tonang.
Tak sampai disitu, Tonang lagi-lagi membuat para pencari keadilan tersenyum lebar. Kali ini dia berhasil meyakinkan APH jika kliennya tak bersalah sebelum naik meja persidangan di PN Samarinda tahun 2018.
“Sebenarnya kalau mengikuti perkara-perkara yang saya tangani itu, sudah lebih dari 8 kali, tapi yang lain itu berhenti tidak sampai proses persidangan,” sebutnya.
Tonang kini tengah menangani perkara penggelapan uang gaji karyawan salah satu perusahaan sawit di Kutai Barat yang dituduhkan kepada kasir perusahaan.
“Kalau memang Tuhan berkehendak dan ternyata saya bisa buktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, maka orang ini mudah-mudahan bisa saya bebaskan,” ungkapnya.
Selain itu Tonang juga berhasil mengurangi vonis beberapa terdakwa dari hukuman minimal hingga terjun bebas. Paling anyar dia berhasil memenangkan banding hukuman mati bagi 3 mafia sabu 41 Kg di PN Samarinda jadi hukuman seumur hidup di tahun 2020.
Hukum Harus Biacara Fakta, Bukan Katanya
Hanya saja menurutnya hukum harus berbicara fakta bukan katanya. Ini kerap jadi bomerang bagi APH yang asal melimpahkan perkara ke pengadilan hanya berdasarkan keterangan tersangka atau saksi tanpa alat bukti yang kuat. Parahnya lagi merekayasa BAP demi mempercepat proses hukum.
“Kalau fakta di dalam persidangan tidak bisa dibuktikan kesalahannya maka haruslah dibebaskan. Selama kliennya jujur,” ucap Tonang.
Risiko Pekerjaan, Dukungan Keluarga dan Single Fighter
Kesehariannya yang selalu berurusan dengan perkara hukum memang bisa mengancam keselamatannya. Sebab pihak-pihak terutama lawan yang kalah perang argument hukum di pengadilan bisa saja berbuat nekat. Namun bukan Tonang namanya jika takut duluan. Dia menyebut dirinya dengan isitilah ‘Single Fighter’ alias petarung tunggal.
“Karena saya pikir manusia hidup itu sudah ditentukan garisnya. Kalau dia harus mati walaupun saya duduk hari ini bisa saja Tuhan Panggil. Tapi kalau memang Tuhan masih memberikan kesempatan saya untuk berkarir berkarya membantu orang-orang yang dalam keadaan membutuhkan pertolongan, saya pikir walaupun bahaya di depan saya, bukan saya kebal tapi mungkin bahaya itu sendiri yang menghindar,” tuturnya.
Dia menganalogikan dengan Daud dan Goliat dalam hikayat nyata umat Kristiani. Dimana Daud digambarkan sebagai sosok yang kecil namun berhasil melawan Goliat sang raksasa.
“Intinya saya harus berani fight pada saat dihadapkan dengan situasi yang tidak mengenakan. Karena di dalam alkitab sendiri seorang Daud yang kecil itu mampu mengalahkan raksasa Goliat, kenapa saya tidak? Dan itu juga terjadi kepada kawan-kawan saya yang seperjuangan, entah itu aktivis atau sama-sama advokat,” beber Yahya.
Dia berpesan ‘Jangan pernah takut karena pada saat kita merasa yakin bahwa memang kita melakukan hal yang benar, saya pikir walaupun musuh kita banyak masih ada harapan untuk kita bisa menegakan keadilan itu,” katanya.
Soal keluarga Yahya tak mau neko-neko. Artinya perhatiannya pada keluarga tetap diutamakan tetapi dia tak mau mengekspos latar belakang keluarganya di hadapan publik.
“Karena memang saya ini sifatnya Fighter ya, saya jujur saja kalau untuk keluarga memang saya tidak pernah mau mengekspos. Karena walaupun saya kuat belum tentu keluarga saya (juga kuat). Tapi Syukurnya saya punya keluarga khususnya istri, anak, orang tua itu mereka mendukung.
Jadi itu yang membuat saya memiliki semangat, walaupun saya harus jauh berkendara ke mana-mana saya tidak pernah takut,” tutup Yahya Tonang.
Berdirinya Tonang sebagai Advokat muda Kutai Barat tidak hanya membanggakan keluarga namun juga masyarakat Kubar. Dia ingin menunjukan ke dunia luar jika anak pedalaman bisa jadi ahli mesin dan advokat yang sukses.(VA dari berbagai sumber)