Advokat Tutup Mata, Budaya Hukum Indonesia Runtuh

VARIA ADVOKAT – Dalam mengamati perkembangan mafia peradilan di Mahkamah Agung, Irman Putra Sidin, pengamat Hukum Tata Negara, melontarkan satu kontradiksi yang terang benderang tentang budaya hukum. “Di negara Barat budaya hukum berkembang baik sejak lama. Sedangkan di Indonesia, budaya hukum rusak sejak lama,” demikian, Irman.

Rusaknya budaya hukum Indonesia itu digambarkannya seperti berikut. Tahun 1998 runtuh negeri ini karena sektor-sektor kekuasaan rusak semua. Dulu, sebelum 1998, waktu orang mau ke Polisi ribet banget (repot sekali). Sebelum tahun 1998 ketemu Polisi Lalu Lintas saja menjengkelkannya bukan main. Seluruh anak-anak takut dengan yang namanya Polisi. Ke Polisi lapor kehilangan kambing, tetapi bisa kehilangan kerbau. Belum lagi ketemu Jaksa. Belum lagi ketemu Hakim. Belum lagi di instansi atau birokrasi lainnya. Mengurus KTP bagaimana? Kita masuk ke Pengadilan kalau tidak kenal Hakim jangan harap mendapat keadilan. “Ini yang saya bilang rusak itu,” ujar Irman.

Tetapi, sekarang sejak era reformasi Indonesia, pelan-pelan budaya hukum di Indonesia mulai berjalan baik. Baik itu yang dijalankan oleh Polisi, Jaksa, Hakim. Cuma, belum sampai pada titik optimal yang diharapkan, tambahnya.

Perubahan budaya membutuhkan waktu yang lama dan intens. Namun Irman mempunyai penilaian tersendiri terhadap perbaikan budaya hukum Indonesia. “Sudah sepuluh tahun berjalan sejak 1998. Sudah lumayan kan (hasilnya). Ada pergerakan kan. Bahkan dunia peradilan Indonesia mau direformasi kan,” terangnya. Pada pemerintahan 2009 -2014 inipun Irman melihat ada harapan perbaikan dunia peradilan di Indonesia. Tetapi menurutnya hal itu tergantung peran Presiden dan Ketua Mahkamah Agung yang memperbaiki budaya hukum itu. Khusus kepada Mahkamah Agung Irman mengatakan hal itu tergantung dari budaya yang ingin dibangun oleh Ketua Mahkamah Agung dan bagaimana membangun budaya hukum itu.

Sedangkan mengenai Advokat, profesi yang relatif jarang dibicarakannya, Irman memberi pandangannya terkait dengan peran mereka dalam memperbaiki budaya hukum Indonesia. Menurutnya, mungkin ada juga advokat yang menggoda Hakim. Dikatakannya, kalau instrumen (birokrasi) Mahkamah Agung itu tertutup maka pengacara nggak bisa macam-macam. “Ya, advokat itu kan aktif. Kalau Hakim tertutup maka orang seaktif apapun tidak bisa masuk, ya kan. Dia (Hakim) digoda, digoda, digoda. Dia (Hakim) nggak akan tergoda,” ujarnya.

Dan hal itu tidak bisa kita pungkiri. Dikatakannya, disinilah fungsinya yang namanya PERADIN, IKADIN, PERADI, KAI, dan organisasi advokat lainnya untuk mengatasi hal itu. Organisasi ini tidak hanya untuk berseteru. Tapi mereka bagaimana berlomba-lomba untuk memperbaiki advokat seperti itu di dalam organisasinya.

Harapan Irman, organisasi advokat memberikan contoh menjadi pilot penegakan hukum. “Organisasi Pengacara dapat memberikan Pilot Project penegakan hukum di Indonesia sampai terbentuk budaya hukum yang diharapkan,” harapnya.

Lebih lanjut disampaikannya, organisasi advokat bukannya berkompetisi terus. Seolah-olah ada ketegangan diantara organisasi advokat. Kalau terus begitu bagaimana? Mereka ini harus berlomba-lomba memberikan contoh budaya hukum yang baik. Itulah organisasi advokat yang diharapkan. “Dengan sendirinya, kalau satu lembaga ini tidak seperti itu akan mengakibatkan runtuh budaya hukum di Indonesia,” kata Irman mengingatkan.

Irman juga memberian pendapatnya mengenai teori “Tidak ada orang berperkara di Pengadilan untuk kalah. Seorang pencari keadilan akan bermain segala cara, lobi, agar menang.” Dikatakannya, tidak bisa seperti itu. “Saya tidak bisa mengamini realitas itu. Kalau orang berperkara untuk menang, tidak bisa seperti itu. Hal itu yang bisa membuat rusak hukum kita,” koreksinya. Tetapi pemahamannya, termasuk pemahaman advokat, menurut Irman adalah berperkara di pengadilan itu semacam mengejar keadilan. Berperkara di Pengadilan adalah mencari kepastian hukum. Ada dan berlaku proporsi asas keadilan, kepastian hukum, dan asas kemanfaatan yang diramu dalam putusan hakim.

“Kalau semua pemangku kepentingan atau stakeholder berpikir seperti itu, saya pikir toh orang tidak akan lagi berpikir untuk menggunakan segala cara,” tegasnya.

Irman meneruskan, para pencari keadilan adalah mencari keadilan. Maka pada titik ketika Tuhan sudah berbicara, bersuara, yaitu pada putusan kekuatan kehakiman -sebuah putusan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan semua putusan Hakim begitu, maka kita harus berhenti untuk menerimanya. “Oh begini putusan itu.” Tetapi kalau tidak terima ya… bisa naik banding, kasasi sebagai puncaknya, dan selesai. Disini sudah ada asas legalitas putusan Hakim yang harus dihargai pencari keadilan.

Tetapi di samping itu, bagaimana pencari keadilan atau justisiabel ini menghargai yang namanya kepastian hukum. Kemudian dapat dilanjut dengan bagaimana justisiabel menghargai kemanfaatan putusan hukum pada titiktitik tertentu dan harus ada korban. Kita harus paham, pada titik tertentu ketiga asas hukum harus bersimultan dengan sendirinya. Sedangkan pada titik tertentu hanya asas keadilan saja. “Pemahaman seperti itu penting agar putusan Hakim itu bermartabat,” himbaunya.

Akan tetapi, andai kata pandangan seperti itu ada di semua kepala pencari keadilan, Irman tidak yakin mafia peradilan tidak ada dengan sendirinya. “Berkurang, ya. Tidak akan hilang. Kecuali penduduk Indonesia malaikat semua,” nilainya. (Paul Siregar)

=====

VARIA ADVOKAT – Volume 11, Oktober 2009

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *